CHAPTER DUA PULUH TIGA: Fakta.

98 15 0
                                    

—Bunyi mewujudkan kata, kata menandakan perbuatan, perbuatan menunjukkan manusia—

----

''Kali ini aku tidak akan membiarkan Kakak bertindak gila lagi. Kakak ini seorang pengacara yang seharusnya jadi penegak, bukan malah sebaliknya. Lagipula jadilah ibu yang baik untuk Alana, nggak seperti si idiot bangsat itu yang melupakan anaknya sendiri."

Mendengar hal itu langkah Rina terhenti, ia berbalik sambil menyeringai. "Jangan nyeramahin saya soal anak. Kamu sekali lagi tidak akan bisa mengerti, jadi kuperingatkan untuk menjaga mulutmu, Fi. Lagipula apa bedanya kamu sama saya, atau sama papi. Papi saja tak masalah melakukan ini, kenapa kamu yang getot, hah! Lakukan saja perintahku dan jangan ikut campur, kamu tidak tahu apa-apa, Fi. Jadi diam saja dan nikmati pertunjukan ini sampai selesai, oke!'' peringatnya, kemudian benar-benar pergi.

Fian mengernyit menatap punggung kakaknya yang menghilang di balik dinding. Benar, ia sama sekali tak tahu alasan kenapa keluarganya sampai mau menampung orang idiot yang sudah menghabisi keluarganya sendiri tanpa ibah. Walau dengan dalih jika keluarga mereka sudah bersahabat baik sejak lama dan Dimas adalah ayah dari keponakannya. Namun, tetap saja ini gila. Entahlah, itu semakin membuatnya frustrasi, terlebih beberapa kali ia memergoki pakaian kakaknya terdapat noda-noda darah yang entah punya siapa.

''Aku harap si idiot itu tak merubah kakakku jadi seorang psycopath!'' Fian menggeleng, kemudian segera melenggang pergi setelah menggumamkan itu.

----

Esoknya ...

Milo yang baru saja datang itu lansung menjentikkan tangannya pada Fian. Fian menyeringai, lingkaran hitam di sekitar mata membuatnya seperti Zombie daripada seorang polisi.

"Ini kopi untuk Bapak, kulihat Bapak capek sekali pagi ini, apa semalam nggak pulang, Pak?'' Selesai meletakkan kopi cup itu di atas meja Fian, ia pun kembali duduk setelah mengambil beberapa berkas untuk diperiksanya lagi.

Fian yang melihat rekannya sudah berbaik hati menyajikan kopi itu lantas berujar, ''Setelah satu tahun berlalu, si Maniak kembali memulai aksinya. Benar-benar gila, aku rasa orang itu bukan manusia, Mil.'' Fian mendengkus, ia kemudian merentangkan kedua tangan ke udara setelah menggumamkan itu pada juniornya.

Michello Adrian Purnomo atau yang akrab disebut Milo itu mengangguk, posisinya sebagai Aipda, salah satu perwakilan dari Tim Inafis yang baru bergabung setahun itu pun membalas, "Bahkan caranya membunuh benar-benar rapi, selain foto dan rekaman di CD itu. Si Maniak tidak meninggalkan apa-apa lagi sebagai bukti. Jangankan barang bukti, keringatnya saja tidak kita temukan.''

Ia memang bertugas sebagai pemburu sidik jari atau mengumpulkan apa pun terkait kasus kriminal.

Setelah puas membunyikan seluruh jemari dan tulang-tulang tubuh, Fian menimpali bawahannya lagi.

''Sial memang sial! Padahal polanya masih sama seperti 5 korban sebelumnya. Setelah ponsel korban ditemukan, aku langsung memeriksa ponsel itu lewat Celebrite Ufed Touch untuk mencari barang bukti yang sekiranya ada. Namun, ajaibnya, aku tetap tidak menemukan hal mencurigakan.

Data-data di ponsel korban juga masih lengkap, tidak ada riwayat masuk SMS atau telepon dari seseorang yang mencurigakan. Tak ada daftar file dihapus dan sebagainya. Daftar panggilan terakhir pun hanya ke beberapa kerabat dekat, bahkan yang paling akhir itu ke ibunya sendiri.

Di semua akun sosmed korban pun tidak ada aktivitas mencurigakan sama sekali, aku sudah memeriksa semua dengan teliti di tambah lagi menonton video itu berulang kali, hingga sekarang mataku rasanya ingin copot. Benar-benar Si Maniak patut diberi pujian.

TaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang