CHAPTER ENAM BELAS: Tanggung Jawab.

129 17 0
                                    

—Berhasil tipu daya, tak akan musnah kebenaran, tak akan kalah yang banyak, tak akan berlawanan yang berpantangan—

----

Paginya ...

Setelah bersiap-siap, Dion langsung mengendarai mobilnya keluar apartemen. Saat di perjalanan ketika lampu merah menyala, Dion tak sengaja melihat Dokter Rianna yang sedang terjebak juga di perempatan jalan ini. Sama seperti dirinya, dokter itu menunggu lampu hijau menyalah.

Untunglah, kaca mobil wanita itu tak terlalu gelap, jadi Dion bisa leluasa memperhatikan dokter itu dengan seksama. Aurah dari wajah wanita itu yang pertama kali ditangkap Dion adalah kelam, tetapi setelah diajak mengoberol berubah jadi hangat bersahaja. Sebenarnya, ia ingin menyapa wanita itu hitung-hitung penghilang bosan terjebak di lampu merah, tetapi terpaksa diurungkan ketika wanita itu tampak menerima telepon dari seseorang.

Dion tersenyum melihat wanita itu, ia merasa takjub karena di usia masih tergolong muda, wanita itu sudah memiliki karir yang cukup cemerlang. Setelah selesai menelepon, wanita itu tampak menyetel radio di mobilnya. Entah musik apa yang di dengar oleh Rianna, Dion pun tak mau larut terlalu dalam terlebih bunyi klakson mobil yang berada di belakang laki-laki itu membuatnya menancapkan gas dengan cepat.

Dion melajukan mobilnya lagi ketika lampu hijau menyalah. Selama di perjalanan, laki-laki itu tak henti-hentinya memohon perlindungan agar nasibnya pagi ini di depan Brian lancar tanpa kendala. Dion melirik sekilas arloji di tangan kirinya itu, sebentar lagi ia akan sampai ke tempat tujuan, tinggal berbelok sedikit, maju beberapa meter lalu sampai. Dion langsung turun setelah memarkirkan mobilnya itu, beberapa orang yang melihatnya menyapa inspektur tersebut, salah satunya adalah Milo.

''Pagi, Pak?''

Dion membalas dengan senyuman saja, sebenarnya ia ingin mengajak Milo berbincang sebentar mengenai kasus kemarin, tetapi harus diurungkan mengingat ia ada urusan yang harus diselesaikan dengan Kapten Brian dan Milo tampak bersiap untuk ke TKP lagi.

Ya, karena masalah kecelakaan itu, terpaksa ia tak menepati janji dan hari ini ia siap untuk apa pun yang akan terjadi.

Dengan napas yang tersengah, Dion mempercepat langkahnya menuju ke ruang Kapten Brian berada. Sepatu pantopel laki-laki itu saling berdecakkan dengan lantai memenuhi koridor yang sudah di penuhi beberapa orang.

Orang-orang itu menatap Dion yang sedang terburu-buru, beberapa di antaranya mengejek Inspektur tersebut. Tak mau kalah, Dion sesekali membalas ejekan rekan-rekannya tersebut dengan melambaikan tangan sebelum akhirnya berhenti ketika Malik yang kebetulan melintas di koridor itu menatapnya tajam.

''Pagi, Kapten,'' sapanya sopan yang dibalas deheman oleh pria empat puluhan itu.

Dion melemparinya senyuman ramah seperti yang sudah-sudah, lalu kemudian melanjutkan langkah lagi menuju ke ruang kaptennya tersebut. Sebenarnya dalam hati, ia sempat mengumpat sikap Malik yang berlebihan seperti itu serta bersyukur karena dirinya tak jadi ditempatkan ke dalam anggota Tim Satu di mana Malik yang menjadi ketuannya.

Sesampainya di tujuan, laki-laki itu kembali mengumamkan doa berkali-kali sebelum memberanikan diri mengetuk pintu tersebut. Entah mengapa, melihat nama yang tertera di depan pintu ruang tersebut hari ini membuat bulu kuduknya meremang.

''Masuk!'' Suara baritone itu menguar, Dion menelan saliva sambil terus melangkah masuk.

Seperti yang dikatakan kemarin, ia siap menerima hukuman dari Kapten Brian apa pun bentuknya. Walau punya alasan yang kuat kenapa sampai melanggar janji, tetapi ia tak bisa mengatakan yang sebenarnya selain hanya diam dalam posisi tegap siap.

TaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang