CHAPTER EMPAT BELAS: Kejadian.

142 27 0
                                    

—Tak akan tenggelam Matahari di tengah langit—

----

''Khum ... saya rasa itu tidak menjadi jaminan jika anak itu adalah keponakan Dimas, Sil. Kita perlu bukti yang kuat dan akurat sebelum memutuskan sesuatu. Bisa saja 'kan kalau kamu hanya salah lihat lagi, lagi pula rekan saya telah memeriksa cc tv di tempat yang kamu bilang, cc tv di dasbor mobil di sekitar situ, serta menanyakan kepada orang-orang yang ada di sana juga. Jawabannya sama, tidak ada. Jadi apa kamu yakin?'' terang Dion, kemudian meneguk kopinya lagi yang sudah agak mendingin.

''Tidak! Kali ini saya tidak salah lihat, kok. Kamu tahu 'kan kalau saya sangat percaya—''

''Tidak akan ada asap jika tidak ada api, benar 'kan?''

Dion memotong pembicaraan sepupunya itu, ia sangat senang jika Silvi tampak bersunggut kesal.

''Sepertinya Tuan Inspektur sudah sangat paham maksud saya!'' sindirnya.

Alis laki-laki itu terangkat sebelah. ''Jangan marah, saya hanya bercanda.''

''Saya tahu, kok.'' Ketus, Silvi menjawab dengan sangat ketus.

Dion tersenyum, malam semakin larut membuatnya kian menjadi menjengkelkan untuk Silvi.

''Bisahkah kita kembali ke topik utamanya, Pak Dion?'' Silvi kembali berkata, sebelum akhirnya pergi mengambil sesuatu di dalam kamar.

Dion menggeleng menyaksikan sepupunya itu, ia senang ketika melihat Silvi merajut seperti bayi. Hingga tak lama kemudian, Silvi pun kembali sembari menyodorkan sebuah map.

''Apa ini?'' Dion sontak bertanya ketika disodori benda itu.

''Lihat sendiri dan pelajari. Saya yakin kamu bisa menemukan kejanggalan apa yang ada di map itu sebagai seorang inspektur.''

Dion melotot ketika benda yang disodorkan padanya adalah buku berisi rentetan pertanyaan dengan jawaban Dimas ketika di penjara dulu. Lebih tepatnya adalah catatan anamnesa Dimas.

"Kamu ingin mengetes saya? Lagi pula, kenapa baru sekarang kamu memberikan buku ini pada saya setelah 2 tahun berlalu?''

Deg!

Silvi tergagap mendengar pernyataan itu. Dion benar, kenapa baru sekarang ia menyerahkan buku itu pada sepupunya?

''Yang benar saja, Sil. Apa kamu bodoh? Kamu sudah tahu 'kan pasal 216 KUHP tentang menghalang-halangi proses penyidikan,'' lanjut lelaki itu.

Silvi menjawab, suaranya terdengar gemetar. ''Saya tahu, kamu bisa menjebeloskan saya sekarang juga, Yon. Saya sudah siap.''

''Bodoh!"

Silvi bergeming saat dirinya diolok-olok oleh Dion. Namun, ia mengaku salah dan siap bertanggung jawab sekarang walau sudah terlambat. Sejujurnya, sudah lama ia ingin memberikan anamnesa itu pada Dion selaku bagian dari Direktoral Reserse Kriminal Polda Yogyakarta. Namun, karena ia masih trauma mengakibatkan dirinya tak mengatakan apa-apa ketika dimintai keterangan oleh pihak kepolisian terkait kasus tersebut.

''Jangan pikirkan. Saya tahu, kok, jika kamu ingin menangkap Dimas dengan tanganmu sendiri 'kan? Kamu merasa bahwa semua ini adalah salahmu, jadi kamu sendiri yang akan membereskannya tanpa bantuan dari siapa pun, makanya, saat itu kamu tidak mengatakan apa-apa kepada polisi. Saya benar 'kan?''

Lagi-lagi Dion menghujaninya dengan pertanyaan yang tak bisa ia elak. Silvi terdiam, sepupunya benar. Kejadian itu memang terus menghantuinya setiap saat. Dan karena itu pula, ia semakin merasa bersalah dan berjanji untuk menangkap Dimas lagi dengan kedua tangannya sendiri.

TaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang