CHAPTER EMPAT PULUH EMPAT: Keras.

56 13 0
                                    

—Pertentangan akan selalu ada, tak peduli saudara, rekan kerja atau orang tua. Selagi untuk kebaikan, maka tetap pertahankan. Bukankah pertentangan adalah awal dari sebuah hubungan?—

----

Rina tak mengubris, ia lebih memilih untuk menyelesaikan pekerjaannya dibanding harus meladeni laki-laki menyebalkan itu. Sedangkan Fian yang tak dihiraukan kembali berdecak kesal. Lagi, ia menggebrak meja kakaknya itu tanpa malu atau pun bersalah sekalipun.

''Kubilang menyerahlah, Kak.''

Kali ini walau masih kesal, ia memperhalus cara bicaranya pada Rina. Tentu Fian paham, semakin ia berlaku kasar atau tak sopan, ia sama sekali tak akan mendapat jawaban apa pun. Setidaknya jika ia berlaku sopan, maka Rina akan memberi jawaban walau sedikit dan tak mengabaikan dirinya.

"Saya tak mengerti maksudmu apa, Fi. Saya sedang pusing sekarang, jadi jangan tambah-tambahi dengan kamu mengatakan hal yang kamu sendiri sudah tahu jawabannya apa!'' jawab wanita itu ketus. Rina menatap Fian setelah mengumamkan itu sambil membenarkan kerah kemejanya.

"Jangan gila, Kak. Aku hanya ingin melindungimu sebelum semuanya terlambat. Jadi, kuperingatkan sekali lagi, menyerahlah!" Fian tak mau kalah, jelas-jelas ia melihat Rina tengah berdiri di dekat kedai tempat ia dan rekan-rekan kerjanya ngopi bersama tadi.

''Sudah saya katakan jika kita tidak usah membahas ini lagi. Saya tidak takut kalau pada akhirnya saya harus di penjara karena Dimas.'' Rinamenggeleng, tangannya pun bersiap untuk menekan nomor satpam yang terhubung dengan telepon di ruang itu.

Fian yang tahu kalau kakaknya akan mengusirnya lagi lantas berkata, "Kakak tidak perlu melakukannya. Aku bisa pergi sendiri tanpa harus diseret.''

"Pulanglah dan beristirahat dengan baik. Saya tahu jika kasus itu membuatmu sangat kelelahan. Jadi kalau sudah tak ada yang ingin dibicarakan lagi, saya harap kamu tahu diri untuk pergi dari sini. Saya sibuk sekarang!'' Rina membalas sambil mengayunkan tangan ke udara—tanda menyuruh Fian enyah di hadapannya.

Sudut bibir kanan Fian berkedut, sama halnya dengan kedua tangan laki-laki itu. Gemetar, seluruh tubuhnya seperti terbakar saking panasnya. Namun, bukan Fian namanya jika harus kalah dengan Rina. Ia bukan hanya sekali dua kali berhadapan dengan wanita ketus itu, tetapi sudah bertahun-tahun. Jadi, Fian paham betul bagaimana sifat keras kepala kakaknya itu.

Sedikit geretakkan pasti membuahkan hasil, pikir lelaki itu membuatnya kembali berkilah, "Aku masih punya waktu tiga menit, jadi aku masih berhak berada di sini. Aku tahu kalau Kakak tidak akan pernah mau menyerah melindungi si idiot itu, tapi aku juga tak akan tinggal diam melihat Kakak terus-terusan melindungi dia. Oh, ya, satu lagi. Apa Kakak terlibat di kecelakaan yang menimpa Dion saat itu? Dion bilang mobil yang hampir menabraknya berplat AB 5914 AF, itu mobil kakak 'kan?''

Rina tersenyum sinis, tetapi matanya tak pernah lepas dari layar monitor itu. "Ya, itu mobil kakak, tapi apa sebaiknya kamu tanyakan pada Dion bagaimana ciri-ciri detail mobil yang hampir menabraknya itu. Bisa saja mobil itu memiliki flat ganda. Lagi pula kamu ini seorang polisi. Bagaimana bisa kamu tak menyelidiki mobil itu, hah?'' Rina menarik napasnya santai.

Fian mengernyit. 'Maksud Kakak?''

"Kakak tak bisa menuduh sembarangan, tapi apa kamu benar-benar yakin mobil yang Dion maksud adalah punya saya?'' lanjutnya lagi.

Skakmat!

Fian membeku mendengar penjelasan Rina, ia kesal karena lagi-lagi kakaknya tak bisa ia lawan. Sebenarnya ia juga sudah tahu kalau mobil yang hampir menabrak Dion bukanlah milik kakaknya, dan yang dikatakan Rina lagi-lagi benar jika mobil tersebut berplat ganda.

TaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang