CHAPTER DUA PULUH EMPAT: Maksud.

82 14 2
                                    

—Kembang mekar di waktu subuh, di kala matahari terbit baunya pun hilang—

----

Sekali lagi Fian mengernyit. ''Shella dari Pusiknas itu? Yang Pak Dion naksir berat?''

''Iya, dia. Ternyata Bu Shella adalah anak pertama dari Komisaris Danu. Tapi Bu Shella selama ini tak mau disangkut pautkan dengan beliau, itulah kenapa Bu Shella sangat tertutup jika menyangkut masalah keluarga.''

"Ah, sial. Apa Pak Dion tahu semua ini?''

"Kurasa tidak ada yang tahu mengingat bagaimana Bu Shella dan Komisaris nyaris tak ada hubungan apa-apa selain pekerjaan. Jadi, kurasa hanya aku dan Bapak saja yang tahu tentang ini.''

"Benar-benar menakjubkan, kamu yang baru setahun kerja di sini saja sudah mendapatkan info sepenting ini. Lah, aku malah sama sekali tak tahu apa-apa. Ah, ya, bagaimana bisa kamu tahu semua itu?''

''Hust! Sebenarnya waktu itu saat aku menyerahkan hasil penyelidikan ke lab forensik untuk diperiksa, aku tak sengaja melihat komisaris dan Bu Shella berbincang mengenai si Maniak ini, lalu kemudian ia menyebut nama Nanda yang kemungkinan adalah adik dari Bu Shella yang akan bergabung. Aku ingin menguping lebih dekat, tapi tiba-tiba saja Bapak datang dan kacaulah semuanya.''

''Aku?'' Fian menunjuk dirinya sendiri setelah menegakkan kembali tubuhnya. Milo mengangguk. "Iya, Bapak. Gara-gara Bapak, aku jadi tak bisa mendengar lebih banyak.''

''Baiklah-baiklah, aku akan kembali menonton video ini dengan teliti. Ah, siapa tahu selama ini aku melewatkan sesuatu, 'kan?'' terangnya sebelum kembali teringat dengan janjinya hari ini.

Mengingat hal itu sontak membuat Fian mengumpat. "Sial, aku harus pergi dulu. Aku lupa kalau sedang ada janji. Ah, ya, telepon aku jika Pak Dion sudah kembali, oke?'' terangnya lagi. Lalu, ia pun melesat pergi setelah mengambil jaket, kunci motor, serta selesai memberi tepukan pada bahu juniornya itu.

Milo mengangguk, tetapi ketika Fian hampir sampai ke depan pintu, ia tiba-tiba berteriak, "Pak, kopinya ketinggalan. Tunggu sebentar, aku akan bawakan.'' Lalu setelah adegan sweet-sweetan tersebut, Fian pun melesat secepat kilat ke arah motor dan menungganginya.

---

"Apa kamu yakin mau tinggal di rumah mereka, Nia?''

Pernyataan tersebut bagaikan embusan angin pagi ini—menguar seolah keberadaanya tak menarik perhatian. Lelaki yang mengumamkan hal itu masih menatap lekat lorong-lorong rumah sakit sembari menunggu jawaban dari Tania kini. Sedangkan orang yang dimaksud terlalu malas membuka suara walau hanya sepatakata, ingatannya tertuju pada kejadian kemarin.

Kemarin saat ia selesai menemui Dokter Sammy, ia tak sengaja menabrak satu pasien laki-laki sepantaran dirinya yang tengah dibantu oleh pria tua. Nia pun segera minta maaf dan berlalu ke kamarnya, tetapi setelah sejam berlalu. Nia pun kembali menemui pria tua itu tanpa sepengetahuan Bian yang ia yakini pernah Nia lihat sebelumnya. Nia pun mengoberol ringan dengan pria tua itu yang Nia panggil Kakek Samir—tentu setelah ia ingat jika dirinya pernah bertemu dengan kakek itu berserta cucu saat pertama kali turun di jalan.

''Memangnya Firman sakit apa, Kek?'' Nia bertanya setelah terduduk di dekat kakek itu.

''Sakit parah, Nduk. Kata dokter dia terkena kanker,'' jawab Kakek Samir lesuh, logat Jawanya terdengar kental dan khas. Nia mengernyit. "Kanker?''

Kakek Samir menunduk, lelaki 60-an itu tak kuasa menahan air matanya. "Kanker darah! Kakek ndak tahu harus bagaimana lagi, untungnya cah bagus Dokter Sammy mau menolong kami.''

TaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang