CHAPTER DUA PULUH DUA: Satu diantara Dua.

118 14 0
                                    

—Jangan banyak bicara, sebab bicara itu banyak artinya. Jaga lidahmu, sebab lidah itu sering mengiris—

----

''Kenapa kakak tidak menghampirinya saja dan mengajak orang idiot itu mengoberol.''

Fian, tidak salah lagi. Rina memutar bola mata malas ketika mendapati Fian—adik tirinya itu—sudah berdiri di belakangnya. Rina berbalik, adik tirinya ini memang agak menyebalkan.

"Jaga ucapanmu, Fi. Dimas bukan orang idiot seperti yang kamu katakan, dan lagi ia adalah—''

''Ya, ya, ya. Aku tahu jika ia adalah ayahnya Alana. Tapi keadaannya sudah sangat berbeda, Kak, dia bukan ayah yang baik seperti dulu. Jangankan jadi ayah yang baik, ingat anaknya saja enggak. Aku heran sama kamu, Kak. Kenapa kamu mati-matian melindungi si penjahat ini, hah! Papi saja tidak habis pikir dengan otakmu itu.''

Rina menyeringai, tentu ucapan itu tak asing lagi di telinganya semenjak memutuskan membantu Dimas kabur dari tempat terkutuk itu. Fian dan Rina memang memiliki hubungan keluarga, lebih tepat adalah Fian anak dari isteri kedua papinya. Namun, walau begitu, Rina tetap menganggap jika lelaki itu adalah adik kandungnya setelah ibu Fian meninggal saat Fian masih bayi.

Rina dan Fian adalah anak dari seorang Hakim di kota ini yang bersahabat baik dengan direktur cabang Bank Central Buana—salah satu bank BUMN terbesar di Indonesia. Mereka adalah Pak Dito Utomo dan Pak Narendra—nama orang tua Rina dan juga Dimas.

Oleh karena persahabatan kedua orangtuanya mengakibatkan Rina, Dimas, dan juga Fian pun menjalin hubungan yang serupa. Rina bersahabat dengan Dimas sejak mereka masih kecil, rumah keduanya pun tidak terlalu jauh walau beda kompleks.

Lalu persahabatan mereka berlanjut hingga sampai sekarang. Sejak SD, mereka tidak pernah terpisah sampai SMA, walau usia Dimas setahun lebih tua dan satu tingkat di atas Rina di sekolah. Namun, hal itu tak lantas membuat mereka merasa canggung, mala sebaliknya Dimas dan Rina menjadi semakin dekat walau sudah melanjutkan pendidikan masing-masing selepas SMA.

Hingga suatu ketika, Rina mendengar kabar buruk yang menimpa keluarga Dimas mengakibatkan lelaki itu mendekam di balik jeruji rumah sakit. Entahlah, saat itu Rina sangat terpukul terlebih ia sedang mengandung dengan usia kehamilan memasuki pertengahan bulan kesembilan saat persidangan putusan Dimas digelar waktu itu.

"Kamu datang, Kak? Bagaimana dengan kehamilanmu?'' Fian bertanya pada kakaknya yang baru saja datang. Ia menoleh ke arah Fian yang sudah lebih dulu terduduk.

''Apa persidangannya sudah mulai, Fi.'' Kalut, ia bertanya dengan sesak di dada. Fian menggeleng sembari menyentuh pundak Rina—mencoba membuat kakaknya tenang.

''Persidangan akan segera di mulai, Kak. Papi juga akan segera—''

''Para hadirin dimohon untuk berdiri.''

Belum sempat Fian melanjutkan ucapannya, Panitera telah menyuruh semua yang hadir di persidangan ini untuk berdiri. Fian mengernyit, bahu kakaknya bergetar sambil mencoba menahan isak ketika ia melihat para Majelis Hakim termasuk papinya masuk dan berjalan ke tempat masing-masing lengkap dengan jubah kebesarannya.

Selanjutnya adalah Hakim Ketua pun membuka persidangan setelah semua yang ada di ruang itu dipersilakan duduk kembali, menyampaikan doa yang disambung dengan mengajukan pernyataan pada jaksa.

"Apa saudara Jaksa Penuntut Umum sudah siap memulai persidangan?''

Pak Utomo membuka suara, nadanya terdengar lantang dan tegas, walau raut wajahnya sama sekali tak bisa berbohong. Benar, ia merasa sedih sekaligus bersalah terhadap apa yang menimpa Dimas anak Narendra sekaligus ayah dari calon cucunya.

TaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang