CHAPTER SEMBILAN BELAS: Si Keras Kepala dan Bocah Aneh.

113 16 0
                                    

—Memalukan kalau dikalahkan, mematikan kalau ditaklukkan—

----

Sedangkan Tania hanya terdiam menyaksikan semua orang-orang ini tengah berada di sekelilingnya. Hingga setelah selesai bercakap-cakap, Silvi pun berpamitan untuk menemui Dokter Sammy kembali sebagai dokter yang bertanggung jawab pada Bian dan Tania. Nia dan Bian kompak terdiam ketika semua orang sudah pergi. Hanya ada aromah menyeruak, tetesan dari tiap cairan infus, dan suara monitor yang tak henti-hentiknya berbunyi memecah kebisuan mereka berdua.

Sehingga cukup dilanda bosan, Nia bertanya, "Kamar ini nomor berapa? Apa nama ruangannya, Bi?"

Bian mendengar hal itu sontak mengedarkan pandangan. Ia menoleh ke sisi lain di mana terdapat sofa berwarna cokelat dengan meja kaca persegi panjang. Di atas meja tersebut terdapat vas bunga yang warnanya begitu mencolok.

Bian mengankat bahu malas. "Memangnya kenapa? Jangan melakukan hal yang aneh lagi. Tidur saja sana! Dari kemarin kamu menanyakan itu terus."

"Aku tanya, ruangan ini nomor berapa dan namanya apa? Jawab saja apa susahnya, si, Bi!"

"Kok kamu yang sewot? Harusnya aku yang marah ke kamu gadis aneh! Aku tidak tahu nomor ruangan ini berapa. Kamu tahu sendiri aku enggak pernah keluar dan selalu menjagamu 'kan? Tapi aku pernah dengar Dokter Sam menyebutkan ruangan mawar, bisa saja ruangan ini yang dimaksud. Kamu sebenarnya mau ngapain, si?''

''Bisa tolong bantu aku untuk berdiri, setidaknya biarkan aku untuk jalan-jalan. Tiga minggu di kamar membuat kepalaku sangat-sangat sakit.''

Bian mengernyit, mata cokelatnya melotot pada gadis itu.

''Kamu gila, ya? Kamu masih belum sembuh benar, Bodoh. Lagi pula untuk apa aku membantumu, huh!'' serunya.

Namun, bukan Tania namanya jika ia menyerah begitu saja. To, ia merasa jika tubuhnya sudah agak mendingan walau rasa pusing masih sedikit ada. Kakinya juga sudah tak terlalu sakit, hanya sedikit berat karena gips yang melingkar di kakinya.

Nia mendecih kesal. ''Kalau kamu nggak mau, ya, nggak papa. Aku bisa meminta bantuan Dokter Sammy, kok, atau kalau dia sibuk, ada Suster Mutia yang siap membantuku. Lagi pula, ada yang ingin aku pastikan tahu.''

Lalu Nia mencoba menekan tombol interkom tersebut, tetapi lengannya dicegat oleh Bian kuat.

''Aku bilang nggak usah, ya, nggak usah. Kamu ini bisa dengar nggak, si?'' bentaknya, tanpa sadar.

Entahlah, benar-benar gadis yang nekat, pikir Bian setelah memarahi Tania.

Nia yang dibentak akhirnya menyipit, refleks ia menutup telinga ketakutan sebelum menepis jemari lelaki itu kuat. Bian menyipit, ia tak mengira jika respons seperti itu yang ditunjukkan Nia.

Bian mendengkus melihat Nia begitu keras kepala. Lalu gadis itu menunduk, ia masih melakukan hal serupa sambil menutup mata. Bian mengamati wajah Nia masih ketakutan membuatnya mau tak mau menuruti permintaan itu dan segera berlalu untuk meminta kursi roda pada suster juga meminta izin. Tentu setelah kembali menenagkan Nia dan meminta maaf.

''Kamu pasti senang, 'kan?'' katanya malas setelah memindahkan tubuh Nia dari tempat tidur ke kursi roda.

''Tentu!'' jawab Nia antusias, walau masih terdengar parau dengan kedua tangan membentuk kepalan kuat.

Lalu selanjutnya mereka berdua pun berjalan keluar dari ruangan itu. Bian berjalan dengan perlahan menurut perintah Tania, sedangkan Nia sibuk menatap satu persatu ruangan itu dengan seksama. Entah apa yang dilakukan gadis ini sama sekali tidak bisa dimengerti oleh Bian.

TaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang