CHAPTER TUJUH BELAS: Bersisihan.

122 19 0
                                    

—Layarku sudah terkembang, kemudiku sudah terpasang, lebih baik tenggelam daripada kembali—

----

Minggu ketiga masa perawatan di Februari akhir.

"Belum pulang, Dok?'' Suster Fahira, perawat yang bertugas bersamanya hari ini memecah konsen wanita itu yang masih sibuk memeriksa rekam medic pasien-pasiennya di RSJ ini.

Wanita itu menatap Fahira sambil tersenyum. Ia membalas, "Sebentar lagi, Bu.''

"Jangan terlalu keras dengan tubuh Dokter. Tubuh Dokter juga butuh istirahat yang cukup.''

"Iya Bu, sebentar lagi selesai 'kok,'' jawab Silvi, kemudian merentangkan kedua tangannya ke udara.

''Mau saya buatin the hangat, Dok. Kelihatannya Anda cape sekali. Pasien-pasien pun cukup merepotkan Anda hari ini.''

"Kheem. Boleh 'deh. Terima kasih, Bu.''

Fahira mengangguk, kemudian berlalu untuk membuatkan minuman. Wanita empat puluhan tahun itu memang sudah seperti ibu kandung Silvi. Selain orangnya baik dan perhatian, Bu Fahira mengingatkan Silvi pada ibunya sendiri. Jadilah hubungan mereka berdua sudah sangat dekat dan akrab.

Silvi akui, menghadapi orang dengan masalah kejiwaan setiap hari menuntut ia harus memiliki kesabaran yang ekstra sebagai kosekuensi yang harus dijalani sebagai seorang psikiater. Profesinya itu menuntun Silvi bertemu dengan berbagai karakter yang abnormal, berbagai tatapan yang bisa dikatakan berbeda dari kebanyakan orang.

Entahlah, mereka memandang semua petugas—Silvi—dengan tatapan beragam, seperti menatap kosong, sedih, marah, bahagia, penuh selidik serta curiga, dan masih banyak lagi. Namun, bukannya merasa takut, justeru wanita itu merasa sangat senang bertemu dengan orang-orang itu apalagi mendengar mereka semua bercerita walau sebenarnya tak nyambung dan kadang-kadang agresif.

Setiap kali mengoberol dengan mereka membuat Silvi merasa nyaman, walau tak bisa dipungkiri jika terkadang wanita itu sering mengalami luka ketika salah satu atau lebih dari mereka mengalami fase maniak lagi. Namun, sekali lagi itu tak membuat Silvi jera, terlebih kebanyakan dari mereka yang tinggal di sini tak memiliki keluarga dalam artian mereka di buang oleh keluarganya sendiri. Hanya beberapa dari mereka yang dikunjungi keluarga sekali-kali, itulah makanya mereka sangat senang diajak mengoberol dan Silvi semakin beta dengan profesinya.

Silvi paling senang mendengarkan kisah mereka, meskipun beberapa agak sulit diajak bicara karena gangguan isolasi sosial atau harga dirinya rendah. Selain itu, beberapa justru sangat menikmati proses oberolan tersebut walau alurnya merebak ke mana-mana yang mereka tak peduli dan tetap asik walau petugas kadang-kadang dibuat bingung.

Namun, apa pun bentukkan mereka, mereka semua patut mendapatkan haknya sama seperti orang normal walau dalam kontes berbeda pemenuhannya. Dari sini juga, Silvi banyak belajar dari mereka dan keluarga tentang bagaimana cara bertahan, menerima, ketabahan, dan juga kesabaran.

Entahlah, sedangkan Fahira yang baru saja datang menatap Silvi yang asik melamun. Ia kemudian meletakkan cangkir teh itu sambil berkata, "Tampaknya Dokter sedang memikirkan sesuatu? Pacarkah?''

Silvi menegak, buru-buru ia menggeleng. "Ah, Ibu. Bukan apa-apa.''

"Ah, jangan malu, Dok. Bilang saja.''

''Serius, Bu. Tidak ada.''

"Khem, ya, sudah. Kalau begitu saya duluan, ya, Dok. Kebetulan Jemputan saya sudah datang. Salam sama pak ganteng itu.''

''Dion? Nanti saya sampaikan. Ibu hati-hati di jalan.''

''Khem, jangan lupa diminum tehnya dan istirahat yang banyak.''

TaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang