CHAPTER TUJUH: Langkah.

165 17 0
                                    

—Tak ada yang lebih baik daripada maju, tetapi tak melepas masa lalu—

----

Dinginnya udara setelah hujan bercampur panas cahaya matahari sore ini membuat Nia tak ada henti-hentinya menghapus ingus yang masih keluar tak karuan—sejujurnya ia tak mau membuat Bian marah karena kausnya penuh ingus. Sembab jalan pun begitu terasa, tetapi sama sekali tak menyurutkan langkah-langkah mereka walau tubuh sudah teramat lelah dan kedinginan—sebenarnya hanya Bian yang berjalan, Nia masih berada di punggung laki-laki itu.

Mata datar dan cekung Nia kini sibuk memandang satu per satu dari deretan gedung menjulang tinggi di samping kiri dan kanannya. Lampu-lampu mobil dan biasnya cahaya lampu jalan yang tak terlalu benderang seolah jadi saksi bisu di mana kaki-kaki mungil sang empunya—sebenarnya Bian—menjelajah lebih luas kota ini yang sebelumnya kepikiran saja ia tak pernah.

Para pengguna jalan lain pun tampak sedang ikut meramaikan acara jalan-jalan tak bertujuan mereka malam ini. Ya, mungkin dengan cara itu mereka bisa dikatakan hidup atau setidaknya menikmati hari ketimbang berdiam diri di bawah selimut lembut yang hangatnya tiada banding.

Cih, selimut lembut!

Tentu ada pengecualian jika membicarakan kedua orang tua terutama seorang ibu. Dan perlu digaris bawahi juga kata 'Selimut, kehangatan, dan kelembutan orangtua' tentu membuat Nia jadi teringat lagi akan sosok adik-adiknya yang tak tahu pergi ke mana.

Taman!

Tidak, mereka semua tidak ada di sana!

Nia menggeleng, ketika teringat tempat itu di mana mereka semua sebelum terpisah akan bertemu di taman tersebut. Namun, saat Nia ke sana setelah terbebas, nyatanya ia tak mendapati adik-adiknya di sana barang seorang pun, malah hanya mendapat perlakuan yang tak biasa dari pengunjung yang mengatainya gembel dan anak buangan.

''Huh! Pergi sana anak bau, jelek, dekil!'' Itu ucapan yang Nia dengar ketika dirinya terduduk di bangku taman untuk menunggu sang adik-adik yang barang kali belum sampai.

Nia melirik sebal kepada orang itu sebelum pergi dengan kepingan hati yang hancur. Sungguh, kata-kata menyakitkan itu seolah menusuk-nusuk hati Nia sampai tembus ke tulang-tulang. Bukan, bukannya gadis itu mau melebih-lebihkan, tetapi begitulah kenyataan yang ia terima setelah dirinya hidup di jalan kurang dari 48 jam.

''Pengemis dilarang mangkal di sini. Kau tidak lihat, ya, bagaimana orang-orang menatapmu jijik! Pergi sana atau kulaporkan kau pada petugas di sini.''

''Pergi sana. Jangan minta-minta di sini. Masih muda sudah malas-malasan.''

''Baumu busuk. Aku jadi tak berselerah karena ada kamu.''

''Anak itu pakaiannya kotor sekali. Dia orang gila, ya?'' Dan masih banyak lagi ucapan menyakitkan untuk Nia waktu itu.

Lagi, Nia masih menjelajah, tetapi sudah tak sendirian seperti kemarin. Setidaknya ia sudah memiliki teman yang begitu aneh sekarang. Namanya Bian, dan ia anak yang pandai dalam bernyanyi selain membuat orang jengkel.

Lalu jika boleh jujur, gadis itu sudah mulai lelah di gendong atau lebih tepatnya tak enak hati. Namun, kalau meminta turun, itu sama saja membangunkan harimau kelaparan. Tentu ia tak mau mendapat amukan lagi dari Bian. Kemudian, tak mau pusing dengan hal itu, Nia pun menengadah sebelum beralih pandang ke bagian kaki Bian yang telah dipenuhi tanah dan juga rumput melekat. Sinar rembulan juga agaknya sudah mulai menampakkan cahaya kelam membuat gadis itu kembali sesak.

Perlahan, gadis itu mulai berdoa, ia berharap agar penderitaan yang dipikul selama ini lenyap seolah tak pernah ada. Entahlah, setidaknya di antara ribuan doa yang mengalun, Nia hanya berharap pada Tuhan agar mengabulkan satu saja permintaanya di mana ia bisa berkumpul lagi bersama sang adik-adik.

TaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang