CHAPTER SEPULUH: Tentang Silvi.

154 22 0
                                    

—Ketidak percayaan akan muncul, seiring lisan tak sejalan dengan pikiran—

----

Rasa lelah yang teramat di tubuh Silvi hari ini membuatnya melangkah mantap masuk ke dalam rumah setelah sampai. Ia pun melangkah dengan pasti menuju dapur untuk mengambil sebotol air sebelum masuk ke kamar.

Kemudian ia pun menghempaskan badannya di atas kursi sambil menyepol tinggi sang rambut yang masih basah—membiarkan udara mengenai si tengkuk sang empunya dengan leluasa. Lalu setelah itu, ia pun membuka tutup botol yang sudah diambil lalu menuangnya ke dalam gelas. Namun, ketika ia hendak meneguk si air itu, tiba-tiba konsennya terpecah ketika ia tak sengaja kembali mengingat kedua bocah tadi. Ia pun mendengkus sembari memijat pelipisnya pelan yang tiba-tiba terasa berat.

''Aneh!'' gumamnya, kemudian memasukkan dua butir obat itu ke dalam mulut. Sesaat, ia menandaskan si air itu tanpa sisa dan meletakkan kembali gelas itu ke tempat semula.

Silvi pun bangkit dari tempatnya terduduk, ia melangkah lagi menyusuri anak tangga secara satu persatu yang menghubungkan lantai pertama dengan kamarnya yang berada di lantai dua.

''Saya harus melaporkan apa yang saya lihat ke Dion,'' titahnya, sambil memutar knop pintu dan mendorongnya hingga terbuka, kemudian melempar tas jinjingnya asal ke atas tempat tidur sembari memikirkan apa yang barusan ia alami di pertemuan mereka itu.

"Saya tidak mungkin salah lihat lagi. Tidak untuk kali ini, ya, saya akan memastikan itu,'' pikirnya sambil mendudukkan pantat di sudut tempat tidur, sedang sang tangan berusaha melepas high heels-nya yang masih melekat di kaki.

Ia menggeleng setelah menghempaskan tubuhnya di kasur, menelungkupkan badan sesaat, kemudian kembali termenung memikirkan kejadian yang di alaminya tadi di depan restoran itu.

"Tak salah lagi, itu pasti Dimas.'' Yakinnya lagi, kembali memijat pelipis pelan.

Entahlah, bagi Silvi, hari ini adalah hari yang sangat melelahkan untuk dirinya. Namun, ketika niatnya untuk menghubungi Dion muncul, tiba-tiba saja ponselnya berdering nyaring. Ia pun dengan sigap melihat ponsel itu yang sudah tergeletak di atas nakas, meraihnya dan menemukan nama seseorang yang hendak ia hubungi tadi.

"Kebetulan yang menyenangkan,'' tuturnya, kemudian meraih ponsel itu dan menekan tanda jawab.

"Halo, Sil. Kamu ke mana saja? Dari tadi saya nelfonin kamu, tapi kamu tidak menjawabnya?'' Suara itu terdengar nyaring dari ujung sana bernada khawatir, tetapi terdengar jijik di telinga Silvi.

Ia pun membalikkan badannya lalu mulai bersuara. ''Maafkan saya, Yon. Tapi jika kamu ingin memarahi saya, saya rasa setelah mendengar ini amarahmu akan segera padam.''

''Jangan bicara yang tidak-tidak. Kamu ini ke mana saja, saya khawatir sama kamu. Kamu tahu, berapa kali mama menelepon hanya untuk menanyakan kabarmu tahu.''

Tepat, tebakan si wanita itu tak pernah melesat sedikit pun. Lelaki dibalik telepon itu memang terdengar seperti pengawal yang akan mengawasi ke mana pun ia melangkah. Tidak, lelaki itu bukan pacarnya asal mau tahu saja, lelaki itu adalah anak dari saudara almarhumma mamanya yang telah berjanji akan menjaga Silvi sebelum menikah.

Seperti mamanya dan anggota keluarga yang lain, lelaki bernama lengkap Dion Abimanyu itu terkenal dengan overprotektif pada Silvi. Setidaknya bukan hanya Dion, tetapi semua keluarga besar Abimanyu akan memperlakukan anggota keluarga perempuan seperti ratu, baik cucu mau pun anak-anak perempuan di keluarga itu. Terlebih kepada Silvi—sebagai anak bungsu di keluarga besar Abimanyu—setelah kedua orangtuanya meninggal, keoveran keluarga semakin menggila yang diperparah dengan kejadian dua tahun yang lalu di kasus pertamanya.

TaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang