CHAPTER SATU: Sebuah Pilihan.

419 35 2
                                    

—Ada kalanya, seseorang harus dihadapkan pada dua pilihan: bertahan atau mati perlahan-lahan—

----

15 Januari, Yogyakarta waktu itu.

Hening malam pecah oleh teriakan panik banyak orang. Di depan sana, si jago merah berkobar dengan gagah, melahap apa pun di sekitarnya. Lidah-lidah api menyambar, memanaskan udara malam yang seharusnya sejuk. Para lelaki dengan sigap membawa air dari rumah-rumah warga sekitar untuk disiram ke bangunan yang sedang terbakar itu. Sementara para wanita dan anak-anak berpakaian kumal itu histeris melihat tempat tinggal mereka runtuh keping demi keping.

Di antara mereka yang bergerak sigap atau yang sekadar menggumamkan doa, tujuh bocah perempuan menyelinapkan langkah di antara kepanikan. Salah satu di antara mereka memegang korek api yang tinggal sebatang isinya, yang lain sedang memegang bahunya agar ia terus berjalan, menerobos pekat malam yang tercemar api yang ia ciptakan.

''KALIAN!'' Suara tinggi seorang wanita membuat mereka menoleh.

Ibu panti yang kejam tak berperasaan mengacunkan telunjuk, lantas mengajak warga mengejar bocah itu, mereka segera berlari melewati gang sempit dan pesing agar dapat meloloskan diri. Sayangnya, bocah yang memegang korek api itu tersungkur, seakan tak mampu melanjutkan langkah lagi.

"Cepat!'' seru kakak angkatnya, memegang bahu mungil itu dan membantu berdiri. Saudaranya yang lain menyambut, memapah agar ia bisa kembali berlari bersama. Sayang, justru sang kakak yang tertangkap oleh ibu panti.

"Lari!'' teriaknya sekuat tenaga.

"Lari, Lemot! Lari!''

Gadis berusia sekitar sebelas tahun itu meronta sekuat tenaga, menghalangi wanita yang ingin mengejar adik-adiknya kini. Tenaganya jelas kalah, tetapi dia tidak akan menyerah. Biarlah tangan dan kakinya patah, setidaknya dia masih bisa menggigit untuk menghalangi.

"Argh! Dasar anak tak tahu di untung kau, Nia!'' umpat wanita tua itu setelah berhasil mendekap tubuh ringkih Nia. Sedangkan Joyce berhasil meloloskan diri dari cengkaraman si monster itu.

Dia si wanita kejam semakin kalap, menyeret tubuh si gadis keras tanpa ampun hingga mencipta bunyi decitan nyaring sampai ke sudut ruang paling gelap di ujung gang. Jelas, begitu kentaranya ketakutan terukir di wajah si gadis bercampur kesedihan yang tiada tara.

Namun, saat netra menangkap beberapa sosok dari sang adik-adik bisa menyelamatkan diri, itu sudah cukup membuat hati senang. Walau dirinya sendiri masih mencari cara agar bisa lepas dari sosok monster berwujud wanita tua tersebut.

"Cukup main-mainnya, Nia. Kesabaran ibu sudah habis!'' gertaknya.

Setelah itu, tanpa rasa iba, wanita tua tersebut pun membanting keras tubuh gadis itu ke tanah. Nia mengaduh kesakitan, tubuhnya yang ringkih serasa remuk seketika, tulang-tulang si empunya terasa luluh lantak, mengakibatkan cairan merah mengalir di beberapa bagian di tubuh.

"Am-ampun, Bu. Nia ja-janji nggak akan nakal lagi.''

Itu ucapan yang berhasil lolos dari bibir mungilnya yang pucat. Lalu, ketika melihat si monster kian mendekat, Nia pun memundurkan bokongnya hingga punggung menyentuh dinding. Sedangkan petir masih enggan untuk menjauh, gerimis kecil turun seperti jarum yang menusuk kulit. Bau petrikor menguar di perparah sembabnya jalan semakin terasa di tengah gemelap malam yang mencekam.

Lalu, wanita itu berkacak pinggang dengan tatapan tajam ke wajah gadis kecil tersebut. Nia bergidik ngeri menyaksikan tatapan dingin mematikan itu, bulu kuduknya meremang menahan sakit kala udara semakin terasa menusuk-nusuk tulang. Walau ia sudah tak berdaya, tetapi Nia tak akan menyerah pada monster tua itu.

TaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang