8. Curiousity

8.6K 1.2K 55
                                    

Menjadi pengasuhnya Juhoon itu enak, karena Doyoung gak mengharuskan gue pakai baju seperti pengasuh pada umumnya. Yang pake seragam dan segala macam. Justru Doyoung membebaskan gue menggunakan pakaian yang gue mau, asalkan tetap sopan.

Udah seminggu udah bekerja sebagai pengasuhnya Juhoon, sikapnya Doyoung juga masih sama gitu-gitu aja. Masih suka marah-marah nggak jelas, kayaknya nenek gue aja kalah bawelnya sama dia. Habis bawel banget manusia bernama Kim Doyoung ini.

"HUAAAAAAAAA." Suara tangisan Juhoon adalah hal yang pertama kali gue dengar begitu memasuki kediamannya Doyoung.

Gue cuma bisa mengelus dada dan menarik nafas yang panjang. Doyoung ngapain lagi sih?

"Kamu kalau ayah bilang gak usah megang kertas kerja ayah ya gak usah di pegang-pegang!"

Gue yang baru datang langsung berjalan menuju ruang tengah. Mendapati Juhoon sedang menangis kencang, tangan kanannya memegang selimut kecil yang selalu dia gunakan kalau lagi diam di ruang tengah.

Biasanya Juhoon baru bangun begitu gue baru sampai. Tapi kali ini dia bangunnya lebih pagi berarti.

Kalau anak udah lelah dimarahin terus menerus hanya karena hal yang sepele. Ujung -ujungnya dia akan memberontak. Mau melakukan hal yang kecil dimarahinya aja sampai segininya, ya tanggung, dia akan sengaja melakukan kesalahan yang besar sekaligus. Kayak Juhoon sekarang. Bukannya tangisnya tambah reda, tapi dia makin memberontak dan menebas semua hal yang bisa dia tebas.

"Juhoon." Doyoung memanggil namanya. Tapi masih nggak Juhoon hiraukan.

"Juhoon, sama Tante Lila yuk?" Gue berusaha mengajaknya.

"NGGAK!" Masih menebas apapun yang bisa dia tebas.

"Juhoon!" Pertengkaran ayah dan dengan anak ini kayaknya gak akan kunjung selesai dalam waktu yang dekat.

Yang dipanggil gak kunjung menoleh.

"KIM JUHOON!" Semarah-marahnya Doyoung, gue belum pernah ngeliat Doyoung semarah ini. Dia melangkah mendekati Juhoon, gue takut kalau Doyoung bakal melakukan sesuatu terhadap anaknya sampe gue harus turut ikut melangkah maju dan melindungi Juhoon.

"Doyoung..."

"Apa kamu? Minggir!"

"Emangnya gak bisa diomongin pake kepala dingin?"

"Minggir, Dalilah." Doyoung beneran marah ya? Nama gue sampe dipanggil Dalilah. Jarang banget orang manggil gue dengan Dalilah. Biasanya gue dipanggil oleh Doyoung dengan sebutan Lila. Kali ini Doyoung memanggil gue Dalilah.

Gue bukannya minggir, malah langsung menggendong Juhoon dan membawanya ke kamarnya. Juhoon masih menangis sedari tadi. Sampai gue bawa dia ke kamar juga dia masih nangis.

"Tante Lila, Juhoon nggak mau ketemu ayah lagi!" Ucapnya sambil menangis. "Ayah beneran nggak sayang sama Juhoon!" Tanpa disuruh, Juhoon naik ke atas kasurnya, dia berbaring lalu menyelimuti dirinya dengan selimut. Dia selimuti sekujur tubuhnya. Sampai kepalanya pun dia tutupi. Juhoon masih terus menangis di dalam situ. Gue yang melihatnya nggak tega.

Gue ikut berbaring di sebelahnya Juhoon, sambil memeluknya dan mengusap-usapnya.

Nggak lama, suara isak tangisnya mulai memudar, memudar, dan akhirnya berhenti. Waktu gue buka selimutnya, Juhoon tertidur.

Sambil memandangi Juhoon yang udah tidur, gue mengusap rambutnya. Gue pandangi wajahnya, matanya sembab karena menangis. Mukanya merah. Dan sisa-sisa air mata masih ada di matanya.

Kasian.

Akhirnya gue membiarkan Juhoon untuk tidur. Karena gue punya rencana untuk mendatangi Doyoung, dan menanyakan kenapa dia selalu marah-marah. Masalahnya, hal itu selalu ada di dalam pikiran gue dari hari pertama gue kerja — hanya aja sampai sekarang belum terjawabkan.

Second Heartbeat | Kim DoyoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang