33. Unexpected

7.8K 1.1K 57
                                    

"Lila?"

Kepala gue otomatis mendongkak dan melihat siapa yang berdiri di pintu ruang kerjanya Doyoung—siapa lagi kalau bukan sang pemilik rumah.

"Kamu... ngapain?" Sambil berjalan mendekat ke arah dimana tangan gue masih memegang erat figura foto yang ada Doyoung dan entah siapa di dalamnya.

Bukannya cepat-cepat menaruh kembali ke dalam laci, gue malah mati gaya. Lagian kalau gue mau naruh kembali figura fotonya, gue udah ketauan kan?

"Kamu buka-buka laci saya?" Tanyanya lagi. Matanya melihat ke benda yang ada dalam genggaman tangan gue. Lalu setelahnya, mata kita bertemu. Disitu gue melihat kalau Doyoung kesal dengan perbuatan gue.

"Keluar sekarang, Lila. Kita makan malem."

Lalu dia keluar dan meninggalkan gue sendirian di dalam ruang kerjanya. Ekspektasi gue dengan kenyataan beda banget. Karena dalam ekspektasi gue, dia bakal marah habis-habisan. Tapi nyatanya, dia hanya menyuruh gue keluar dari ruangannya sambil memberikan tatapan yang sama sekali gak ramah.

Yang namanya bego, gue bego banget. Doyoung tuh hari ini mood-nya udah bagus, tapi gue malah ngerusak semuanya.

Gak ada satu pun dari kita yang membuka percakapan. Doyoung hanya sibuk dengan makanannya, tanpa melihat ke gue atau pun Juhoon. Juhoon hanya menatap makanannya dengan penuh teka-teki, mungkin yang ada dalam benaknya sekarang adalah, ada apa dengan ayahnya? Kenapa ayahnya mendadak dingin lagi? Padahal tadi mereka udah berinteraksi lumayan banyak. Dan gue, hanya memandang makanan gue tanpa napsu. Gue gak enak banget sama Doyoung, karena gue udah melanggar privasinya.

"Jangan diliatin aja makanannya, Lila. Dimakan. Saya masak bukan untuk kamu liatin aja."

Karena gue takut dimarahin, akhirnya gue bergerak cepat untuk memakan makanan yang udah Doyoung siapkan. Jujur deh, gue udah mempersiapkan mental banget kalau seandainya habis ini Doyoung bakal marahin gue habis-habisan karena udah melanggar privasi punya dia. Berani berbuat, harus berani nerima konsekuensinya juga, Lila. Siapin mental lo aja.

"Tante, Juhoon udah selesai makannya."

"Belum habis Juhoon, habisin baru boleh selesai." Bukan gue membalas ucapan Juhoon, melainkan Doyoung.

"Itu makanannya Juhoon sisa 3 suap lagi tuh, makan ya?" Kata gue.

Juhoon pasrah lalu mengangguk dan melanjutkan menghabiskan pasta karbonara miliknya.

Gue udah selesai makan, Juhoon dan Doyoung pun sama. Tapi gak ada salah satu dari kita yang bergerak untuk meletakan piring ke dalam dishwasher. Juhoon hanya memainkan garpu kecil miliknya yang bergambarkan We Bare Bears. Gue memainkan jari jemari gue, gak tau gue harus ngapain. Sementara itu, Doyoung memainkan gelas wine yang masih banyak wine di dalamnya.

"Lila bantuin Juhoon siap-siap bobo gih. Nanti saya aja yang beresin." Ujar Doyoung dengan mata yang masih fokus ke gelas wine-nya itu.

"Kamu gak mau saya—"

"Nggak." Belum selesai ngomong padahal gue, tapi dia udah nolak.

Akhirnya gue dengan Juhoon langsung bergerak untuk meninggalkan meja makan. Tepat saat gue berada di pintu yang menjadi pemisah antara ruang makan dan lorong, Doyoung mengatakan satu kalimat yang membuat gue deg-degan.

"Habis Juhoon tidur, kamu jangan pulang dulu. Saya mau bicara sama kamu, di ruang tengah ya."

🍑🍑🍑

Gue sengaja banget ngebantuin Juhoon ganti baju, sikat gigi, membacakannya cerita—dalam waktu yang lama. Karena niat gue untuk mengulur waktu. Gue gak siap dengan hal selanjutkanya yang akan terjadi. Doyoung bilangnya dia mau bicara dulu sama gue, dan kali ini gue takut. Tumben banget gue takut.

Second Heartbeat | Kim DoyoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang