2. Phobia mantan

2.4K 175 5
                                    

Vote

Penenang buat para readers ku bentar, sebelum lanjutin "Daddy I Love You"

----------------------

Kugenggam benda persegi panjang yang tipis, lalu kulepas kabel pengisi daya yang tercantol di ujungnya. Layarnya bercahaya, menampilakan beberapa notifikasi. Kuketuk notif teratas, pemberitahuan pesan dari Jimin. Wah, ada apa gerangan? Ah, aku tak sabaran!

Ia memintaku untuk menemuinya di kedai. Kedai milkshake terbaik di kotaku. Tempat favorit aku dan Jimin. Dan itu hanya dulu.

Sedikit kupaparkan mengenai Jimin. Ia adalah mantanku. Empat bulan pasca putus ini, perlakuannya padaku tak sedikitpun berubah. Walau banyak kudengar rumornya dengan banyak cewek, tapi dibalik pesan-pesannya untukku persaannya masih bisa kujamin. Ia masih sama seperti Jimin ku yang dulu. Banyak kali ia memintaku untuk kembali seperti dulu, tetapi aku masih sangat gengsi. Jujur, sebenarnya aku ingin kembali ke pangkuan Jimin lagi.

Jimin pebasket handal. Idola gadis di kampus ini. Banyak gadis yang kurasa jauh lebih baik dan cantik daripadaku. Tapi, bisa kutarik kesimpulan bahwa aku dan Jimin masih berada dalam zona saling sayang.

Aku mengetik pesan balasan untuk Jimin.

‘Ngapain?’

Sepersekian detik, balasan dari Jimin membuat gadgetku bergetar.

‘Mau bicara. Kita jelasin semuanya nanti.’

Ah, jika Jimin memintaku untuk kembali mengulang cerita indah bersamanya lagi, aku bersumpah akan membukakan hati kembali.
Pesan darinya kembali masuk.

‘Bisa nggak?’
‘Bisa, dong.’

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Tak lama, klakson berdentang nyaring dari halaman rumahku. Mobil sedan berwarna putih terparkir di sana. Segera ku kembangkan payung. Hari sedikit hujan. Hari ini kukenakan jaket abu-abu nan penuh kenangan. Hawa dingin berhasil mencuri kalor dari tubuhku satu-persatu. Pintu mobil terbuka dari dalam, mengisyaratkan agar aku segera masuk. Sekarang aku duduk di sebelahnya.

“Masih disimpan, ya?” Fokus Jimin pada jaket couple yang kami gunakan.

“Masih dong, Jim. Banyak kenangan.”

Mobil melesat menerobos rintik tak diundang yang mulai melebat. Tak lebih dari tiga menit, kami sampai. Kami sedikit berlari menuju kedai untuk menghindari hujaman jarum bening. Jimin secara spontan menepis buliran bening yang menempel di permukaan jaketku. Persis sama dengan kejadian setahun lalu. Disaat kami pertama kali bertemu.

Kami duduk. Masih di meja yang dulu. Meja nomor delapan belas. Banyak kenangan di sini.

“Ingat nggak?” Jimin mengode ke arah papan nomor meja.

“Masih, dong. Banyak kenangan.” Jawabku sama dengan yang tadi.

“Mau pesan apa?” Tanyanya ringan.

“Milkshake coklat,” Ujarku tanpa pikir.

“Favorit kita.” Tanpa disadari kami mengucapkan kata yang sama kami saling tatap. Memoriku otomatis berputar ke belakang. Meski jauh di belakang waktu, kenangan aku dan Jimin adalah yang terbaik.

Dering gadget Jimin merusak momen. Dapat kubaca kontak yang meneleponnya. Jimin sedikit kikuk setelah membaca nama Momo terpampang di layar gadgetnya. Aku hanya pasang tampang datar, menyembunyikan kecemburuan yang bertunas di hatiku. Aku tahu, akhir-akhir ini Jimin digosipkan dengan sang dancer kampus yang cantik itu. Jimin meraih gadgetnya, lalu menolak panggilan Momo dengan cepat. Sontak aku terheran.

“Kenapa direject?”

Jimin menggeleng.

“Ini yang mau aku jelaskan.”

Aku terdiam seketika menunggu penjelasannya.

“Aku sama Momo tidak ada apa-apa. Hanya Momo yang menganggap hubungan aku dan dia lebih. Sumpah, aku tak sedikitpun tertarik padanya.”

“Begitu,” Ujarku sambil mengitari pandangan, sok cuek.
“Lalu?” Aku menyambung.

Jimin meletakkan gadgetnya, lantas meraih tanganku.

“Aku berani bersumpah, hatiku masih diisi sepenuh-penuhnya oleh cintaku padamu. Aku nggak pernah jatuh cinta pada orang selain kamu, Seul.”

Jimim terhenti. Aku bertampang sok datar, berusah keras menyembunyikan euforiaku yang memuncak.

“Inti aku mengajak kamu ke kedai ini adalah aku ingin kita mengulang cerita kita dulu. Aku masih sayang sama kamu. Kamu gimana? Masih satu perasaankah kita?”

Genggaman Jimin menepis habis semua ke gengsian ku pada dirinya. Dengan pasti aku menjawab,

“Kita masih satu perasaan.” Sambungku sembari tersenyum full.

“Milkshake coklat, favorit kita.” Jimin menyodorkan segelas milkshake padaku.

Di kedai yang penuh kenangan ini, di hadapan Jimin, dan di depan dinginnya segelas milkshake coklat nan menggoda, aku berjanji untuk tidak lagi memantankan diriku dari Jimin. Karena aku menderita phobia mantan.

Sesampai di rumah, segera kuketik pesan padanya.

Untuk Jimin-ku tersayang:

Ketahuilah, aku menderita phobia mantan. Lebih jelasnya lagi, aku phobia melihat mantanku yang satu ini digandeng gadis lain. Makanya, kamu tidak boleh memantankan diri dariku. Jangan beralih pada Momo! Karena aku sudah kembali di sisimu.
Selamat malam Jimin :)’

One shoot ( Seulmin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang