Vote
Aku terus meyakinkan hatiku bahwa semua akan baik-baik saja. Tidak ada yang akan terjadi di antara hubungan kami. Kata-kata Cungha terus saja berputar-putar di kepalaku.
“Kalau yang deket aja bisa selingkuh, enggak menutup kemungkinan kalau yang jauh juga bisa selingkuh. Cowok mah di mana-mana sama aja Seul”.
Entah kenapa aku terus memikirkan perkataan Cungha. Yang pasti aku sangat gelisah karena sudah 3 hari aku tak mendapat kabar dari seseorang yang berarti di hidupku.
Dia adalah Jimin, laki-laki yang 2 tahun terakhir ini menjadi kekasihku. Kami berhubungan jarak jauh. Jimin berada di Busan sedangkan aku di Seoul.
Sepanjang jalan pulang tanpa kusadari aku terus menggeleng-gelengkan kepalaku, berharap kata-kata Cungha segera pergi dari fikiranku. Jangan sampai aku berfikiran negatif atas hilangnya seseorang itu.
Kulangkahkan kakiku semakin cepat. Berharap jarak yang kutempuh semakin cepat terkikis. Tak butuh waktu lama lagi, aku sudah sampai di depan rumah kokoh yang begitu indah. Ini adalah rumahku. Aku melangkahkan kakiku memasuki rumah ini.
“Seulgi pulang”
1 menit.. 2 menit.. 5 menit..
Tidak ada yang membalas ucapan ku. Aku pun pergi ke dapur mencari bunda.
Tidak ada.
Aku pun merogoh ponsel di saku celanaku kemudian men-dial nomor bunda.
“Hallo Seul” sapa bunda di seberang sana
“ bun, bunda di mana?” Tanyaku khawatir
“Oh maaf, bunda lupa memberi tahu kamu, bunda perjalanan ke Ansan, nenek sakit Seul. Tadi bunda udah bilang ke Jaemin. Apa Jaemin belum pulang sekolah?”
“Belum bun, ya sudah kalau gitu bun. Titip salam buat keluarga di Ansan ya. Semoga nenek cepet sembuh”
“iya Seul. Ya sudah bunda tutup teleponnya. Jaga adik kamu”
“iya bun,”. Hubungan telepon itu pun terputus.
----------------------
Aku segera ke kamarku. Kamar yang satu tahun terakhir ini kutempati. Iya aku, bunda dan adikku Jaemin baru pindah ke Seoul ini satu tahun yang lalu. Ayah? Aku sudah kehilangan ayahku saat masih kelas 1 smp.
Namaku Kang Seulgi, Mahasisiwi semester 4 di salah satu Universitas terbaik di kota ini. Disamping itu aku juga bekerja di salah satu restoran besar di kota ini sehabis pulang kuliah.
“Nuna!!!” aku terkejut seketika mendengar panggilan itu. Siapa lagi kalau bukan Jaemin adikku yang suka mengagetiku itu.
“kamu itu ya! Suka banget ngagetin”
“ye.. habisnya nuna gak denger aku. Aku manggil manggil Nuna juga gak dijawab. Lagi ngelamunin apa sih?”
Oh. Ternyata aku yang salah
“maafin Nuna deh kalau gitu. Gak lagi ngelamun kok. Oh iya kamu tahu kan bunda ke Ansan?”
“iya Nun. Tau kenapa?”
“ya udah. Nuna harus kerja. Kalau kamu mau makan siang itu masih ada. Ini buat makan malam. Kamu beli aja.” Ucapku sambil memberikan uang pada Jaemin.
“Siap Nun. Nuna nanti pulang jam berapa? Mau dibeliin makanan sekalian?”
“Nggak usah. Nanti Nuna makan malam di tempat kerja aja. Jam tujuh Nuna udah pulang. Nuna berangkat dulu.” Aku pun segera pergi menuju restaurant tempat biasa aku bekerja paruh waktu.