21. Kecupan dikamar pengantin

1K 88 0
                                    

Vote

Kutatap bayangan seseorang di cermin. Dia mengenakan dress putih, rambutnya digerai dan berhias, bibirnya merah bergincu, pipinya merona karena blush on dan dia cantik, cantik sekali. Tapi matanya, siapapun yang menatap sepasang mata itu akan tahu kalau tak ada apapun di sana, hanya kehampaan, kekosongan.

Bayangan itu adalah aku, sepasang mata itu adalah milikku.

Saat ini aku berada di kamarku yang telah dihias sedemikian rupa. Aroma harum bunga menusuk hidung. Ini adalah kamar pengantinku. Aku duduk di sisi ranjang, menatap pintu kamar yang tertutup rapat tepat di seberangku.

Dari luar kamar terdengar suara riuh, riuh karena orang-orang di luar sana sedang sibuk menyiapkan tetek-bengek keperluan prosesi akad nikah yang akan diadakan begitu calon suamiku dan keluarganya yang saat ini masih dalam perjalanan tiba.

Namanya Jaebun, pria yang akan jadi suamiku. Tak banyak yang kutahu tentangnya kecuali dia adalah putra teman ayahku, dia sarjana… bahkan aku lupa kuliahnya di jurusan apa, dia pria yang baik menurut ayahku, dan cerdas kata ibuku. Selebihnya aku tak tahu apa-apa. Aku dan dia bertemu tiga kali sebelum akhirnya aku memutuskan untuk menikah dengannya setelah orangtuaku memintaku… ah lebih tepatnya memaksaku.

“Aku tak begitu mengenal Jaebum Yah.” Ujarku sebulan yang lalu, ketika ayah menyampaikan permintaannya padaku untuk menikah dengan Jaebun
.
“Kalian akan punya waktu untuk saling mengenal setelah menikah. Ayah mengenalnya Seul, dia adalah pria yang baik jika itu yang kau khawatirkan, lagi pula tak mungkin Ayah menginginkan kamu menikah dengan pria tidak jelas, iya kan?” Aku bergeming.

“Ayah dan Ibu tak pernah meminta apapun padamu, tapi kali ini Ayah minta, kalau perlu Ayah mohon, menikahlah dengan Jaebum.” Ujar Ayah dengan kening berkerut dan nada suara lembut.

Aku bisa apa kalau ayah sudah begitu, keinginan terbesarku adalah tak ingin membuat ayah dan ibu kecewa. Dan jika tidak menikah dengan Jaebum akan membuat mereka kecewa maka aku tak punya pilihan lain, selain menuruti permintaan mereka, menikah dengan Jaebum.

Aku kira Jaebum juga akan merasa keberatan dengan pernikahan yang orangtua kami rencanakan tapi ternyata tidak, dia malah bilang merasa beruntung dengan perjodohan ini.

“Kau tahu? Kurasa aku akan tetap memilihmu untuk kupinang seandainya orangtua kita tak menjodohkan kita.” Ujarnya ketika kami berbicara lewat ponsel seminggu yang lalu.

----------------

Pintu tiba-tiba terbuka lalu tertutup lagi, mebuyarkan lamunanku. Aku mendongak, dia di sana dia menatapku, tubuhnya yang bersandar ke pintu.

“Kau… kau cantik sekali.” benarkah tadi suaranya? rasanya suaranya seserak itu.

Aku berdiri, jantungku berdetak lebih cepat dan selalu begitu setiap kali aku bersama pria di hadapanku ini, pria yang kukenal seumur hidupku, sepupuku, Jimin

“Ada apa Jimin?” Aku terkejut mendapati suaraku tak kalah serak.

Jimin menghampiriku, sekarang kami berhadapan, Jarak kami sangat dekat.

“Aku hanya…” suaranya tercekat, matanya berkaca-kaca. sebelum aku menyadarinya tangan Jimin telah berada di pipiku. Dadaku mulai sesak. Kami bertatapan.

“Aku tidak menyangka rasanya akan sesakit ini.” bisiknya.

Aku terperanjat ketika kurasakan sesuatu melingkar di pingggangku, tangan Jimin. Ya, tangan Jimin telah melingkar di pinggangku, menarikku lebih merapat ke tubuhnya.

“Biarkan aku melakukan ini, sekali saja.” ucap Jimin

Bibirku bergerak, ingin berbicara tapi tak ada suara yang keluar ketika bibir Jimin telah mendarat di keningku.

Aku memejamkan mata, mencoba memahami semuanya, semua yang tak pernah kami bicarakan tapi aku dan Jimin tahu sesuatu itu ada, sesuatu yang selama ini aku dan Jimin hindari namun tak pernah pergi malah semakin tumbuh, berdenyut dalam dada kami. Tanganku tetap terkulai di sisi tubuhku, aku gemetar, bibirku mulai bergetar.
Selama beberapa waktu kami tetap seperti itu, tangan Jimin di pipiku, tangannnya yang lain di pinggangku dan bibirnya di keningku. Andai jarum jam lupa cara bergerak dan waktu membeku di detik ini, waktu berhenti saat ini, aku tak akan pernah menyesal.

Jimin melepaskan aku. Begitu aku membuka mata Jimin telah berada dalam jarak satu langkah dariku, dan kulihat pipinya basah.

“Maafkan aku.” Suaranya bergetar. “Hapus air matamu Seul.” Jimin juga melakukan hal yang ia perintahkan padaku, menghapus air matanya. Dia lalu berbalik dan sebelum memutar ganggang pintu dia berkata,

“Semoga kau bahagia.” kemudian pintu terbuka, tertutup dan tak ada lagi Jimin di hadapanku. Aku mencoba mengingat dan mencerna apa yang baru saja terjadi. Tanpa bisa kutahan, aku menangis tergugu, air mataku membasahi pipi. Dan di sini, saat ini di kamar pengantinku yang penuh bunga, aku menyadari ada sesuatu yang membuatku ngilu, sakit. Dan aku tahu, aku akan menjalani hari esokku dengan sakit ini di dadaku.

One shoot ( Seulmin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang