Chapter 9

2.5K 262 12
                                        

Nana tertawa cekikikan melihat si Jamal yang menunduk begitu dalam karena harus berhadapan langsung dengan Kyai Umar, pimpinan pondok pesantren Nurul Qur'an. Di sebelahnya, Syifa dengan segera menegur Nana agar diam. Mengingat, mereka ini sedang berada di rumah Kyai Umar. Rara tidak ikut menjadi saksi seperti halnya Nana dan Syifa, katanya dia ngantuk.

"Jadi, kenapa kamu bisa ada di area santriwati?" Kyai Umar memulai introgasi. Auranya nampak tenang namun berwibawa.

"Gini Kyai, saya itu niatnya mau kabur, eh malah diteriakin maling. Saya lari karena kaget, terus malah bablas ke asrama cewek. Tapi saya beneran nggak ada niat apa-apa selain kabur. Suer deh, Kyai!"

Nana memutar kedua bola matanya searah jarum jam. Bisa-bisanya si Jamal sejujur itu -jujur memang bagus, masalahnya penyampaian si Jamal ini kurang adab. Jamal memang mengaku, tapi mukanya itu loh, nggak ada dosa sama sekali!

"Lalu kenapa kamu mau kabur?"

"Ya enggak betahlah, Kyai. Tidur harus dempet-dempetan, ke air harus antri, makanannya nggak enak-enak, mana segalanya diatur lagi. Mandi aja dijadwal apaan tuh coba? Mumet otak saya, tuh! Lebih enak angin London."

Kali ini, sepertinya Nana sepemikiran dengan Jamal. Nana juga sebetulnya masih kesulitan beradaptasi dengan yang namanya lingkungan pesantren. Tapi Nana tidak setuju dengan cara Jamal yang menyampaikan unek-uneknya seperti itu apalagi di depan Kyai Umar, di mana satu pesantren begitu menghormati beliau. Nana juga tidak akan seberani itu untuk nekat kabur. Nana memang tidak suka masuk pesantren, tapi Nana juga tidak mau membuat Abi kecewa. Jadi demi Abi, Nana akan mencoba menjalaninya -meski mulanya harus disogok delapan series terbaru komik Captain Tsubasa dulu.

Begini-begini, Nana itu masih punya sisi lembut.

"Oh, jadi mau kamu begitu. Ya sudah, nanti tinggal saya hubungi Papa kamu."

"Eeeee jangan Kyai! Bisa di blok blackcard saya nanti. Iya deh, saya minta maaf. Saya janji nggak akan ngulangin. Tapi kalau ngulangin, saya janji lagi nanti."

"Heh! Kamu itu yang sopan dikit dong sama Kyai!" Nana yang mulutnya sudah tidak tahan lagi, tiba-tiba menyambar.

"Anti teriak-teriak begitu nggak sopan juga ngomong-ngomong," bisik Syifa.

"Iyakah?"

"Si egeb."

"APA?!" Nana melotot pada Jamal yang barusan mengatainya.

"Na, udah, malu sama Kyai." Syifa tersenyum agak masam pada Kyai Umar yang hanya geleng-geleng maklum. Namun, tidak tampak raut marah ataupun tersinggung di wajahnya.

"Lagian Papa tuh kenapa harus masukin saya ke sini sih? Kenapa enggak di sekolah yang normal aja coba? Tahu gitu saya nggak ikut mudik ke Indo, deh!"

Kyai Umar tersenyum. "Yang namanya pesantren semuanya memang begitu. Tapi kamu tahu bedanya belajar di pesantren dibandingkan di sekolah biasa? Bedanya, di pesantren kamu akan diajarkan ilmu agama yang lebih, sebagai bekal di akhirat nanti. Dan poin tambahannya, kamu juga sekalian bisa belajar hidup mandiri dan disiplin di sini. Mungkin itu alasan Papa kamu mengirim kamu ke sini. Papa kamu melakukan ini untuk kebaikan kamu juga. Jadi, untuk sekarang kamu bersabar dulu, kamu hanya masih belum beradaptasi. Tapi nanti lama-lama kamu pasti akan terbiasa. Karena yang lainnya pas awal masuk ke sini juga begitu. Mengerti, Raffa?"

Mahkota ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang