Di sebuah siang yang cerah, terik matahari begitu membara. Selaras dengan situasi yang saat ini sedang berlangsung di lapangan sana. Meski suhu terasa membakar kulit, namun tidak lantas menurunkan semangat anak-anak berseragam putih biru yang tengah saling menguber bola, apalagi kehebohan para penonton di pinggir lapangan yang semakin memanas.
Ah, tidak, itu bukanlah pertandingan sungguhan, hanya pengisi sela-sela jam istirahat saja. Pemainnya juga cuma lima lawan lima. Tapi pertandingan saat itu beneran seru. Karena persaingan kedua kubu begitu sengit.
“Nana! Nana! Nana!”
Teriakan itu jelas ditujukan pada seorang gadis berkerudung putih yang sedang menguasai bola dan hendak diarahkan pada gawang lawan. Seorang gadis yang paling mencolok di antara yang lain karena dialah satu-satunya perempuan yang ikut dalam pertandingan futsal di sana. Terlebih, sejak awal dialah yang paling banyak menyumbangkan poin untuk timnya. Tim kelas 7B-2.
Namanya Jihan Nafisa Azzahra. Cukup panggil Nana saja karena dia itu anti ribet. Baru kelas 7 namun tenarnya mengalahkan Dinda —kakak kelas yang digadang-gadang calon model masa depan. Tidak, bukan karena prestasi, tapi nakalnya yang minta ampun. Langganan keluar-masuk BK. Dia memang perempuan, tapi sekalinya ada yang berani bikin dia kesel bisa langsung kena baku hantam di tempat. Penggemar berat captain Tsubasa dan jago berantem sejak lahir.
Teman-temannya hampir lelaki semua. Mungkin ada satu yang perempuan. Cika. Tapi Nana kurang suka, sebab Cika anaknya kelewat pendiam. Saking pendiamnya, pernah ada satu anak laki-laki yang terus menganggu Cika yang sedang menulis, hingga tulisan Cika terlihat seperti jalan tol gagal. Cika memang pasrah-pasrah saja, tapi Nana selaku teman sebangkunya tidak baik-baik saja. Karena gemas akhirnya Nana tempeleng kepala anak laki-laki bandel itu sampai masuk UKS, yang untungnya bukan masuk UGD.
Tapi nakal-nakal begitu, Nana sebenarnya anak yang berhati baik. Suka menolong dan rajin menabung. Ya … meski suka langsung habis lagi karena Nana itu suka banget jajan.
“GOAL!!!”
Nana berteriak histeris lantaran dia telah menciptakan sebuah tendangan sempurna hingga berhasil menembus pertahanan gawang sang lawan. Poin yang semula seri kini menjadi 4-3 atas keunggulan kelas 7B-2, dan itu berkat seorang Nana. Teman-temannya yang lain ikutan berseru, karena tim mereka akhirnya memenangkan pertandingan.
Sementara tim lawan, hanya mengeluh panjang meratapi kekalahannya. Namun mereka tetap solid karena tak lama kemudian menghampiri Nana dan kawan-kawan seraya mengakui kehebatan sang pemenang.
“Gimana? Masih berani lawan aku?” Dengan gaya congkak yang sok jagoan, Nana menatap remeh anak laki-laki yang mengenakan bandana merah di kepala.
“Gue akuin kali ini lo hebat.”
“Emang.”
“Tapi lain kali gue pasti bisa ngalahin lo.”
“Masa?”
“Lihat aja nanti.”
“Ditunggu.”
Lantas, Nana dan teman-temannya tertawa. Merasa di atas angin. Makanya tidak serius menanggapi Aldi —anak berbandana itu— yang sepertinya tidak main-main dengan ucapannya.
Aldi dan teman-temannya berlenggang meninggalkan lapangan yang diiringi sorai ricuh para penonton.
Di saat Nana CS sedang ber-euforia merayakan kemenangan, tebar lambaian tangan sana-sini —sudah seperti timnas U-19 yang menenangkan piala AFF— dan bahkan menawarkan tanda tangan, seorang anak laki-laki berkacamata bulat tiba-tiba saja menghampiri ke tengah lapangan —lebih tepatnya menghampiri Nana. Dia menyodorkan sebuah kotak makan yang jika dicium dari aromanya Nana merasa familiar. Lantas dengan segala ketekadan penuh seperti yang sudah disiapkan matang-matang, anak tersebut berkata. “Nana jadi pacar aku mau nggak? Kalau enggak, aku yang jadi pacar kamu!”
Sontak, seisi lapangan kembali ricuh. Ada yang tertawa, mengejek, ada pula yang memuji keberanian si bermata empat yang kini langsung menunduk tersipu. Berbanding seratus delapan puluh derajat dengan Nana yang tampak terkejut setengah mati. Jadi ceritanya dia ini ditembak? Ditempat umum? Disaksikan banyak orang?
Biisa-bisanya!
“Sebenarnya aku udah lama suka sama kamu. Kalau kamu terima aku, kamu cukup ambil nasi kerak ini. Tapi kalau enggak, pokoknya harus!”
Apa? Nasi kerak?
“Terima! Terima! Terima!”
Nana menatap horor ke sepenjuru lapangan, pada orang-orang yang jelas itu bukan dukungan, melainkan ledekan. Nana bisa saja menolak mentah-mentah anak sok berani yang entah siapa dan dari kelas mana ini. Tapi masalahnya, nasi kerak itu!
Ya, Nana pencinta berat nasi kerak. Saking sukanya, dia tidak bisa menolak jika nasi kerak sudah ada di depannya. Apalagi sekarang dia sedang lapar, dan bau nasi kerak di depannya ini minta banget buat dihabisin. T-tapi jika diambil—
Duh, kenapa harus nasi kerak, sih!
Nana menatap keki anak di depannya yang minta sekali dihajar ini. Namun Nana tahan karena bau nasi kerak benar-benar sudah merasukinya. Lantas, dengan tanpa berpikir panjang lagi Nana mengambil alih rantang berisi nasi kerak dari tangan si anak yang menurut Nana penampilannya sangat norak itu. Hanya untuk membuat para penonton melongo karena siapa sangka Nana akan menerima tembakan si culun.
Wah, jelas, ini sih bakal jadi trending news!
Raut bahagia langsung tercetak jelas di wajah si berkacamata. Bagaimana dia yang berhasil meluluhkan hati seorang Nana —menurutnya— hanya dengan serantang nasi kerak. Cukup tak menyangka, namun dia gembira tak terhingga.
Nana yang melihat itu, tersenyum miring. Sebenarnya Nana sangat tidak berniat menerima. Tentu saja. Tapi demi nasi kerak, dia akan melakukan apapun.
Dan pastinya, Nana tidak kehilangan ide. Setelah nasi kerak ini habis, bakalan Nana putusin si culun keparat ini.
Hahaha!
___ToBeContinued___
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahkota Impian
Teen FictionTentang cinta murni, cita-cita abadi, dan pahitnya sebuah kehilangan.