“Ada yang hidup!”
Beberapa petugas langsung berlarian, bergegas menghampiri saat terdengar teriakan salah seorang petugas lain yang baru saja menemukan korban lagi di bawah jurang yang cukup terjal itu.
Mereka segera merekahkan semak belukar dan mengangkat dahan yang menghimpit kaki mungil itu. Sementara yang lainnya bergerak gesit mengambil tandu. Tak ada yang terpikir akan menemukan korban selamat. Mengingat hal tersebut terlalu mustahil jika saja bukan sebuah keajaiban.
Nana akhirnya ditemukan. Tercatat, dia merupakan korban beruntung ke tujuh yang ditemukan dalam keadaan masih bernyawa, meski keadaannya sangat parah dengan luka-luka di sekujur tubuhnya yang mulai infeksi dan membusuk. Bisa dibilang, Nana dinyatakan sekarat saat ini.
Dengan penuh hati-hati tubuh naas Nana dinaikkan ke atas tandu. Lantas tergesa menuju titik pendaratan. Tanpa membuang waktu, helikopter yang mereka tumpangi langsung lepas landas, membawa tubuh lemah Nana di sana. Sementara sang pimpinan segera mengontak rumah sakit terdekat.
Sesampainya, tampak tiga orang suster yang sudah menunggu di pelataran rumah sakit, dengan brankar yang juga sudah disiapkan. Mengerahkan pertolongan pertama, buru-buru Nana dipindahkan dari tandu ke brankar dan segera dipasangkan selang oksigen. Kemudian lekas dibawa masuk ke dalam lift darurat. Satu orang petugas ikut membantu mendorong brankar, menyusuri lorong rumah sakit tanpa henti. Menuju ruangan yang dituju.
Dua dokter senior dan satu dokter muda langsung menyambut. Mereka sempat turut prihatin melihat kondisi Nana, sebelum kemudian pintu ruang operasi ditutup.
-oOo-
Begitu Nafis membuka pintu kamar itu, sesuatu dalam dirinya langsung terasa perih. Lalu ketika sepasang matanya menerawang ke setiap sudut tempat, tatapannya berubah nanar. Tak pernah terpikirkan oleh Nafis bahwa kepulangannya kali ini hanya untuk mengantar Ummi dan Abi ke tempat peristirahatan terakhirnya. Ya, Nafis baru saja pulang dari pemakaman Ummi dan Abi. Jenazah mereka baru di antarkan ke Jakarta subuh tadi.
Nafis memperhatikan satu persatu foto yang ada di kamar Ummi dan Abi. Dan setiap kali melihatnya, hati Nafis sakit luar biasa. Bagaimana tidak? Setiap foto itu memiliki kenangan tersendiri. Ada foto Ummi bersama Abi tentunya, foto Ummi yang menggendong dirinya saat masih kecil, foto Abi yang tersenyum bangga merangkul Nafis yang memegang piala besar, foto Nana saat wisuda taman kanak-kanak, lalu yang paling menyayat, saat mata Nafis menangkap foto seluruh anggota keluarganya.
Tanpa sadar, kedua mata Nafis berkaca-kaca.
“Afis.. ya Allah anak Ummi. Ummi kan sudah bilang tadi naik sepedanya pelan-pelan dulu. Sini, sayang. Udah, cup-cup.. anak Ummi jagoan.”
“Afis kan sebentar lagi akan jadi abang. Nanti Afis harus jadi contoh yang baik buat adek. Dan kalau suatu saat Abi sama Ummi sudah tidak ada, apapun yang terjadi Afis jangan pernah tinggalin adek. Afis harus tetap jagain adek. Ya, sayang?”
“Abiiiiiii kakak ambil komik Nana, nih! Nana udah ngaji, kok!”
“Kapan coba? Kakak gak lihat, tuh?”
“Kemaren. Hehe..”
Nafis merosotkan tubuhnya tanpa ada lagi pertahanan. Membiarkan lututnya beradu dengan lantai yang dingin. Air matanya kembali merebak seiring ingatan demi ingatan itu berputar memenuhi benak, membiarkan sesak di dadanya semakin menjadi-jadi. Nafis tersedu sembari memeluk foto keluarganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahkota Impian
Teen FictionTentang cinta murni, cita-cita abadi, dan pahitnya sebuah kehilangan.