Jendela itu dibuka dengan penuh hati-hati. Si pelaku lantas masuk ke dalam kamarnya yang masih gelap, di mana menandakan belum ada yang menyalakan lampu. Nana, gadis itu akhirnya bisa bernapas dengan lega karena dirasa Ummi dan Abi belum memasuki kamarnya. Atau jika pun masuk, mereka pasti mengira bahwa Nana sedang tidur. Padahal nyatanya, itu adalah guling.
Namun tak berapa lama, ketika Nana hendak menyalakan lampu, lampu tersebut tiba-tiba menyala dengan sendirinya. Dan bukan itu yang kini membuat Nana terkejut, melainkan keberadaan Ummi yang berdiri di dekat meja belajar. Tak hanya Ummi, Abi juga ada namun dia duduk di kasur.
“Bagus ya, Na. Bagus.” Ummi melangkah mendekat. Auranya yang mencekam membuat Nana semakin memucat. “Kenapa gak sekalian aja gak pulang?”
“Ummi..” tegur Abi.
“Dari mana?”
Nana menatap jemarinya yang ia mainkan di bawah. “I-itu, Nana habis—”
“Kerja kelompok?” Ummi menyambar cepat, tak memberikan Nana kesempatan menjelaskan karena Ummi sudah tahu jawaban apa yang akan didengarnya. “Atau mau alasan apalagi? Hm?”
Nana semakin menundukkan kepala. Tak berani menatap Ummi saat ini.
“Kapan, sih, kamu itu mau nurut? Sekali aja coba, bisa?”
“Ummi, Nana—”
“Ini lagi satu, kalau orang tua ngomong itu didengerin, terus turutin. Kamu main ngejawab aja, itu tuh gak sopan kalau kamu tahu. Pakai adab kamu, apalagi di depan orang tua.”
“Maaf, Ummi. Nana salah ….” lirih Nana dengan suara yang mulai gemetar karena diam-diam, dia menahan tangis. Sementara Abi yang melihatnya merasa iba.
“Lihat kakak kamu. Dia nurut-nurut aja sama Ummi dan Abi, gak pernah nentang. Adabnya juga bagus sama orangtua. Dan kamu lihat gimana kakak kamu itu sekarang?”
Merasa tersinggung, Nana akhirnya mengangkat wajah dan menatap Ummi yang juga tengah menatapnya. “Tapi barusan Nana kan udah minta maaf. Ummi kenapa, sih? Kok jadi banding-bandingin Nana sama kakak?”
“Biar kamu tahu dan bisa jadi contoh buat kamu. Inget, Na, orang beradab itu jauh lebih mulia daripada orang berilmu. Jadi mau setinggi apapun ilmu kamu, sepintar apapun kamu, semua percuma kalau adabnya gak ada.”
Abi yang sejak tadi hanya menyaksikan, menghela napas ringan.
“Ummi tuh capek, Na. Capek. Capek ngasih tahu kamu yang gak pernah mau dengar kata-kata Ummi. Jangan main bola, jangan keluar malem, apaan coba keluyuran gak jelas begitu? Apalagi sekarang kamu itu lagi dihukum sama Ummi, tapi masih aja ngeyel. Terus tadi, pacar kamu datang ke rumah! Itu apa pacar-pacaran, ha?!”
Nana harus terkejut untuk kedua kalinya. Bukan karena Ummi yang menggebrak meja, melainkan sebuah informasi yang baru saja ia terima. Rakha. Ya, pasti anak itu yang Ummi maksud.
Nana diam-diam mengepalkan tangan di bawah. Untuk saat ini Nana benar-benar membenci anak lelaki itu dan jika dia ada di sini sudah pasti akan Nana hajar. Nana tidak main-main, Nana beneran ingin menghajarnya.
“Kamu makin besar makin ngelunjak, ya. Dan sekarang udah berani pacaran di belakang Ummi. Belajar darimana, hah? Belajar darimana?!”
“Ummi, jangan kasar-kasar.” Abi akhirnya berdiri untuk menenangkan Ummi yang dirasa sudah marah di luar biasanya.
“Anak seperti dia perlu diginiin, Bi. Biar sadar diri! Biar dia tahu seberapa kesalnya Ummi punya anak yang gak tahu terimakasih! Memang dia pikir dulu siapa yang rawat dia? Yang ngurus dia dari kecil? Kok bisa-bisanya begitu sama Ummi?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahkota Impian
Genç KurguTentang cinta murni, cita-cita abadi, dan pahitnya sebuah kehilangan.