Hari Senin. Hari yang cukup membuat Nana mengeluh panjang seharian. Bayangkan saja, setelah berpanas-panasan upacara bendera di bawah terik matahari sambil menahan pegal lalu langsung disambut dengan mata pelajaran killer, matematika. Belum lagi sehabis jam terakhir nanti, Nana ada ekstrakurikuler karate. Lalu dilanjut dengan kegiatan pramuka sore harinya. Jadwal Nana benar-benar sepadat itu.
Tapi terlepas dari semua itu, Nana menyukai hari Senin, kok. Alasannya sederhana. Karena hari Senin adalah hari di mana Baginda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dilahirkan.
Siang itu, situasi lapangan outdoor tampak padat oleh lautan santri dari berbagai penjuru kelas, baik yang berseragam putih-biru maupun putih-abu. Untuk hal apalagi jika bukan karena menyaksikan pertandingan basket yang saat ini sedang berlangsung di sana. Bagaimana tidak, Zidan tampak hadir di sana. Pemuda yang ternyata menjabat sebagai ketua rohis itu berperan sebagai kapten dari tim Madrasah Aliyah, melawan tim Madrasah Tsanawiyah, yang membuat Nana mendelik malas kapten timnya adalah Raffa. Masalahnya, sepanjang permainan bocah tengik itu sok jagoan banget.
Lapangan itu semakin riuh saat Raffa berhasil memasukkan bola ke dalam ring, hingga poin menjadi seri. Sambil menyugar rambut, sesekali Raffa tebar pesona pada sekumpulan cewek-cewek yang genitnya juga sebelas-duabelas. Meski sok gantengnya minta ampun, Nana akui kalau permainan Raffa lumayan juga. Tapi Zidan jelas tidak kalah hebat. Terbukti sejak awal, putra dari pemilik yayasan itu selalu memberikan perlawanan sengit.
Kali ini bola sudah beralih ke tangan Zidan. Dengan piawainya pemuda bertubuh semampai itu men-dribble bola menuju arah ring sambil sesekali menyeka peluh. Walau wajah sudah dibanjiri keringat, namun tak sedikitpun menurunkan ketampanan seorang Haidar Ali Zidan. Sengatan sinar matahari siang tidak akan mengubah pigmen kulit putihnya menjadi hitam, tapi memerah.
Ketika Zidan mulai melambungkan bola dan nyaris menyentuh ring, Raffa dengan sekenanya menubruk tubuh Zidan hingga merebut bola dari tangan kakak kelasnya itu begitu saja. Tanpa peduli Zidan yang kini jatuh terjerambap dibuatnya, malah Raffa yang akhirnya memasukkan bola ke dalam ring. Alhasil, sebagian penonton dipinggir lapangan langsung riuh memojokkan Raffa. Nana sampai menutup telinganya rapat-rapat karena Rara disampingnya berteriak-teriak tidak terima melihat Zidan dicurangi. Sejak awal, Rara itu memang fans garis keras Zidan.
“Serius nih kakak kelas kalah sama adek kelas?” cibir Raffa, menatap angkuh pada Zidan yang baru saja kembali berdiri sembari memegangi sikutnya yang sepertinya sedikit terluka.
“Eh, ente anak kemaren sore nggak usah belagu!” sambar laki-laki berambut cepak, teman Zidan.
“Bukannya yang belagu itu kalian?” Raffa tersenyum sarkas. Melipat tangan dengan tampang tengil yang semakin menjadi.
“Ini nggak fair ya! Ente curang!”
“Kalau kalah terimain aja nggak si?”
“Nggak bisa—”
“Udahlah, Deza. Ini cuma permainan.” Zidan segera melerai temannya. Tak ingin ada perselisihan. Terlebih mereka sedang diperhatikan banyak orang.
Nana yang sudah tidak tahan melihat kesongongan oknum bernama Raffa itu, tanpa berpikir panjang lagi dia menghampiri ke tengah lapangan begitu saja. Masa bodo dengan perhatian orang-orang, Nana yang sudah kelewat gemas itu tiba-tiba saja mengangkat kerah kemeja Raffa tanpa ragu, yang sukses membuat melongo semua orang yang menyaksikan. Termasuk Zidan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahkota Impian
Teen FictionTentang cinta murni, cita-cita abadi, dan pahitnya sebuah kehilangan.