Tanpa terasa, satu bulan sudah Nana berada di pondok pesantren bernama Nurul Qur'an ini. Sebuah pesantren yang berfokus pada tahfidz Qur'an dan bahasa arab. Seiring itu, Nana juga baru tahu kalau ternyata interaksi antara santriwan dan santriwati itu terbatas. Tidak sebebas seperti di sekolah Nana dulu. Pantas saja kelasnya pun dipisah. Dan ngomong-ngomong kelas, di pesantren ini juga ternyata menyediakan sekolah formal. MTS dan MA. Hanya saja, sekolah berbasis pesantren itu terdapat beberapa pelajaran tambahan, seperti fiqih, aqidah, akhlak, hadist, bahasa arab dan masih banyak lagi.
“Berikutnya, Rara Farikha.”
Rara yang sudah siap dengan mukenanya itu, maju ke depan ketika namanya dipanggil ustadzah Syafira. Sekarang ini kelas Nana sedang mengadakan praktek shalat.
Rara mulai mempersiapkan diri. Dia sudah berada di atas sajadah. Dan ketika hendak takbiratul ihram, ustadzah Syafira tiba-tiba menghentikannya.
“Sebentar, Rara.” Ustadzah Syafira menghampiri Rara seraya membenarkan mukena anak itu. “Rambutnya jangan sampai kelihatan meski satu helai pun, termasuk anak rambut. Ini juga, mukenanya harus sampai menutupi bawah dagu. Ingat ya anak-anak, aurat perempuan ketika shalat itu dari mana aja?”
“Seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan!” jawab semua santriwati yang ada di kelas siang itu.
“Nah. Kalau bawah dagu itu bukan termasuk wajah, jadi masih termasuk aurat yang wajib ditutupi.”
Rara tersenyum dan mengangguk-angguk mengerti. Kemudian dia memulai praktek shalatnya setelah diperintah ustadzah Syafira. Beberapa kali di tengah-tengah shalat, ustadzah Syafira membenarkan bacaan hingga gerakan shalat Rara. Shalat yang dipraktekkan Rara adalah shalat subuh.
“Assalamu'alaikum warahmatullah..” Rara kemudian mengakhiri shalatnya yang disambut senyuman oleh ustadzah Syafira setelah terlihat mencatat sesuatu.
“Bagus, Rara. Tapi nanti shalatnya diperbaiki lagi, ya? Seperti yang ustadzah ajarkan tadi. Kalau begitu silakan duduk kembali.”
Rara lantas kembali ke tempat duduknya. Rara adalah santriwati terakhir yang dipanggil ustadzah Syafira karena yang lainnya sudah semua, termasuk Nana yang tadi sebelum Rara. Oh iya, saat Nana praktek tadi, ustadzah Syafira sempat memuji Nana karena shalat Nana hampir tidak ada yang dikoreksi. Jelaslah, siapa dulu yang sering mengajari Nana di rumah kalau bukan Abi.
“Alhamdulillah, praktek hari ini sudah selesai. Tapi ternyata setelah ustadzah perhatikan tadi, masih ada beberapa yang perlu diperbaiki. Jadi inilah pentingnya kita mempelajari ilmu fiqih, bahkan termasuk fardhu ain. Ilmu fiqih adalah ilmu yang menerangkan sah atau tidaknya suatu ibadah. Jadi ibadah itu jangan asal-asalan, harus ada ilmunya biar bisa diterima, makanya menjadi wajib bagi kita mempelajarinya. Dan artinya wajib itu apa?”
“Apabila dikerjakan mendapat pahala dan kalau ditinggalkan mendapat dosa,” jawab Syifa.
“Betul. Menuntut ilmu itu wajib hukumnya. Tapi wajib di sini adalah ilmu yang tiga, fiqih, tauhid, tasawuf. Fiqih ilmu sah dan tidaknya suatu ibadah, tauhid ilmu keaqidahan kita kepada Allah, dan tasawuf ilmu tingkah hati. Baik kalau begitu, sebelum kelas diakhiri, ada yang mau bertanya?”
Rara mengacungkan tangannya tinggi-tinggi. “Ustadzah, Rara kalau shalat kadang suka lupa rakaat gitu, itu jadinya shalatnya gimana ya? Sah apa enggak? Tapi kalau Rara suka diulangin lagi karena takut enggak sah.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahkota Impian
Teen FictionTentang cinta murni, cita-cita abadi, dan pahitnya sebuah kehilangan.