“Masyaallah.. bananaku makin imut lucu gemesin aja ini. Kangen banget aku huhu.. Na, kangen.. Nanaaaaa aku kangeeennn...”
Nana yang sejak tadi hidungnya sudah kempang-kempis seperti banteng megachan, hanya menatap capek pada anak laki-laki cerewet yang sepanjang tadi belum berhenti bicara hingga saat ini.
Mereka kini sedang berada di UKS. Mengantarkan Raffa yang sampai sekarang belum sadarkan diri juga. Mulanya Nana tidak menyangka akan kehadiran anak laki-laki yang rupanya adalah Rakha itu. Iya, Rakha. Masih ingat tidak? Anak laki-laki culun yang dulu menembak Nana dengan serantang nasi kerak itu. Katanya, dia sudah menjadi santri di sini sejak lima hari lalu.
Ceritanya lumayan bikin Nana tidak habis pikir. Rakha mengatakan jika awalnya dia hanya ikut sang kakak silaturrahmi ke Kyai Umar, yang merupakan paman mereka. Tapi ketika Rakha secara tidak sengaja melihat Nana yang baru saja keluar dari aula, Rakha tidak berpikir dua kali untuk memutuskan pindah sekolah ke sini. Rakha yang selama ini ngenes tanpa Nana di sekolahnya, tentu saja gembira bukan main.
“Lo barusan nggak nabrak pohon toge di belakang, kan? Khawatir aja cuma ketempelan,” respon kakak laki-laki Rakha saat itu. Bang Rayyan namanya.
“Yaelah, Bang, solimi amat sama adek.”
“Ngapain coba tetiba pengen pindah ke sini? Dulu Ayah mau sekolahin lo di sini aja nangis-nangis kagak mau.”
“Belajar lah, Bang. Masa ngadu nasib.”
“Ya alasannya kenapa tiba-tiba lo pengen belajar di sini?”
“Karena ada santri imut.”
Bang Rayyan sontak menoyor kepala adiknya dengan tidak habis pikir. Meski begitu, pada akhirnya Bang Rayyan mengizinkan juga —itupun karena Ummah Sayyida mengatakan dengan senang hati jika Rakha benar-benar ingin mondok di sini. Lalu esok harinya Bang Rayyan langsung mengurusi surat pindah Rakha di sekolahnya dulu.
Nana hanya menatap pasrah Rakha yang sejak tadi cengangas-cengenges sangat minta dihajar itu. Sumpah, menghadapi satu makhluk bernama Raffa saja Nana sudah nyaris angkat tangan. Apalagi sekarang ditambah satu makhluk lagi yang freak-nya sebelas dua belas ini.
Tidak ada yang berubah dari Rakha. Segala tingkahnya masih polos-polos menyebalkan seperti dulu. Hanya saja mungkin ... gaya rambutnya tidak lagi seperti mangkok terbalik. Anak itu mengubahnya menjadi klimis rapi khas oppa-oppa Korea.
Hei, kenapa itu jauh lebih baik?!
“Na.”
Nana tak merespon. Dia malah sibuk menyumpali hidung Raffa dengan kapas, berharap anak itu segera sadar.
“Naaaa.”
“Nana.”
“Bananaaaa.”
“Banana sweety pretty chubby hello kitty–”
“Geli anjrit!” Nana tidak segan menggeplak bahu Rakha. Bukannya meringis, anak laki-laki itu malah cengar-cengir nggak jelas sambil membenarkan kacamatanya yang sedikit melorot karena hantaman Nana. Nana pikir, selain gaya rambutnya yang berbeda, anak itu jadi demen nyengir ya rupanya.
“Na.”
“Apaan sih?!” Nana menyahut tak kalem. Ngegas dan tak sabaran seperti biasa. Tapi justru itulah yang membuat Rakha semakin kesemsem padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahkota Impian
Ficção AdolescenteTentang cinta murni, cita-cita abadi, dan pahitnya sebuah kehilangan.