Nana benar-benar menghela napas lega karena akhirnya dia bisa terbebas dari Rakha. Sumpah, semenjak pertemuannya kemarin, hidup Nana menjadi tidak tenang karena anak laki-laki itu selalu ada di manapun dan kapanpun —terkecuali ketika Nana di asramanya. Belum lagi, mulut ember Rakha yang Nana khawatirkan akan meluas menjadi berita hoax, dan yang Nana takutkan berita itu akan sampai ke telinga para petinggi pesantren.
Jelas Nana takut. Karena bila sampai itu terjadi, bisa-bisa Nana kena takdzir. Nana memang belum tahu hukumannya akan berbentuk apa, tapi sepertinya bila untuk kasus pacaran, hukumannya cukup serius karena yang Nana dengar, Kyai Umar yang akan turun tangan langsung.
Nana bersiul menikmati kebebasannya. Berjalan santuy di sepanjang koridor dengan wajah riang lalala tanpa beban. Gembira bukan main dia. Tanpa Rakha. Tanpa Raffa. Tanpa Rara. Pokoknya tanpa makhluk-makhluk menyebalkan itu ternyata hidup Nana rasanya sedamai ini.
“Ana nggak bisa!”
“Limadza, Ayla?”
“Pokoknya ana nggak bisa! Ganti saja!”
“Karena ada ustadz Hanafi?”
Nana mengerutkan kening melihat dua kakak tingkatnya yang sepertinya sedang berdebat kecil itu. Mereka ukhti Aay dan ukhti Icha. Dan yang Nana lihat, ukhti Aay langsung terdiam ketika ukhti Icha menyebut-nyebut ustadz Hanafi.
“Ayla, mau sampai kapan anti begini?”
“Jangan lagi bawa-bawa itu.” Kali ini, suara ukhti Aay berubah dingin. Raut wajahnya tak terdefinisikan saat itu.
“Tolong untuk kali ini, anti jangan egois, Ay. Urusan pribadi anti dengan ustadz Hanafi, biarlah tetap jadi urusan pribadi. Masalahnya kita ini senior di sini. Jadi kita harus profesional.”
“Anti ... tidak akan pernah mengerti.” Setelah mengatakan kalimat itu, ukhti Aay berlalu begitu saja dari hadapan ukhti Icha. Namun secara kebetulannya, ukhti Aay berpapasan dengan ustadz Hanafi yang sedang bersama ustadzah Syafira di belokan.
“Ayla.” Ustadzah Syafira menyapa disertai senyum ramah. Namun yang disapa, hanya menampilkan wajah datar tanpa ekspresi. Terlebih lagi ketika tatapannya sempat bertemu dengan sepasang netra teduh milik ustadz Hanafi, ukhti Aay langsung memalingkan wajahnya detik itu juga, kemudian berlalu begitu saja tanpa meninggalkan satu patah kata.
Hal itu membuat Nana yang sejak tadi memperhatikan dari kejauhan, mengernyitkan kening heran. Ternyata, dari apa yang selama ini Nana dengar dari teman-temannya, bukan sekadar rumor belaka. Sepertinya memang ada sesuatu antara ukhti Aay dan ustadz Hanafi. Tiba-tiba saja Nana diserang kepo berlebih.
“WOOOOYYY!!!”
Nana berjengit saking terkejutnya. Untuk sesaat, telinganya berdengung tak berfungsi. Seseorang dengan teganya baru saja berteriak kencang di telinga Nana. Lalu, ketika Nana menolehkan kepala pada sosok yang kini tergelak puas, seluruh aliran darah Nana terasa mendidih dan berkumpul di ubun-ubun.
“Jamet!” Nana nyaris saja meraih Raffa namun seperti tahu apa yang akan terjadi, Raffa dengan gesit melarikan diri yang langsung dikejar oleh Nana. Alhasil, mereka kejar-kejaran di sepanjang koridor, kantin, perpustakaan, lapangan, bahkan sampai ke gedung Madrasah Aliyah. Membuat beberapa pasang mata menatap terheran-heran.
Zidan yang saat itu tengah membawa setumpuk buku paket di tangannya, tampak kebingungan ketika Raffa tiba-tiba bersembunyi di balik punggungnya. Disusul Nana yang seperti ingin menyerang Raffa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahkota Impian
Teen FictionTentang cinta murni, cita-cita abadi, dan pahitnya sebuah kehilangan.