"Nana!"
Nana hanya menyengir tanpa dosa sembari mengacungkan dua jari saat Syifa menegurnya. Sudah menjadi kebiasaan Nana kalau keluar dari kamar pasti melompati pagar tembok. Padahal, tangga sudah jelas-jelas disediakan. Aktifnya Nana kelewatan memang. Mana kalau dikasih tau bandel lagi.
Nana dan Syifa sudah siap dengan seragam sekolah mereka. Hanya tinggal menunggu Rara yang masih sibuk dengan kerudungnya di dalam sana. Pasalnya ketika mandi tadi, Rara mendapat antrian terakhir. Belum lagi drama mencret yang mengharuskan anak itu bolak-balik toilet.
"Rangrang cepetan! Bisa telat ini! Tinggalin aja kali ya! Lama bener nggak heran!" teriak Nana tidak sabaran. Jika saja Rara anaknya nggak ngambekan, sudah Nana tinggalkan sejak tadi.
"Ih.. jangan! Bentar lagi, kok!" Rara balas berteriak. Tak lama itu, sosoknya benar-benar muncul bersama senyuman ceria khas dirinya.
Jarak antara pondok dan sekolah tidak terlalu jauh. Karena itu lima menit pun Nana sudah sampai di depan kelasnya yang berada di lantai dua. Kelas 7-A Akhwat. Di seberang sana, Nana sempat memperhatikan Zidan yang sepertinya juga baru sampai di sekolah. Gedung Madrasah Tsanawiyah dan dan Madrasah Aliyah memang berseberangan, dengan lapangan luas di tengah-tengah antara keduanya sebagai pembatas.
Nana baru sadar satu hal. Meski putra pemilik yayasan, Zidan itu senang berbaur dengan santri-santri yang lain, malahan dekat. Anaknya juga hangat dan sederhana, tidak tampak perangai ingin dipuji atau merasa harus dihormati. Bahkan suatu hari Nana pernah melihat, saat Zidan baru selesai mengajar fiqih menggantikan ustadz Salman yang sakit, ada satu santri yang hendak mencium tangannya sambil membungkuk ta'zim namun Zidan dengan segera menegakkan kembali tubuh santri itu dan tidak menerima uluran tangan si santri sembari tersenyum ramah. Mungkin maksudnya, dia merasa belum pantas menerima itu.
Cerdas dan rendah hati. Itulah yang Nana tangkap dari sosok Zidan setelah kejadian tersebut.
"Na, doi tuh!"
Tepukan Rara di bahu membuat Nana menoleh ke depan, hanya untuk mendapati sesosok anak laki-laki yang paling Nana benci di dunia untuk saat ini. Siapa lagi jika bukan Raffa, si makhluk teraneh yang pernah Nana temui abad ini. Lihatlah, pagi-pagi begini sudah berulah. Dengan kacamata hitam serta dua kancing teratas yang sengaja dibuka hingga menampilkan kalung hitamnya, Raffa berjalan santai sambil terus menebar senyum andalannya yang katanya bisa bikin ciwi-ciwi meleleh. Merasa menjadi pusat perhatian, Raffa malah semakin menjadi. Dia memasang Air-Pods di telinga dengan sebelah tangan ditenggelamkan di saku celana. Tak lupa dengan dagu yang sedikit didongakkan.
Sungguh meresahkan!
"Mekom ukhti-ukhti.."
Raffa menghentikan langkah ketika berpapasan dengan Nana dan kawan-kawan. Menyampirkan kacamatanya di seragam, Raffa mengedipkan sebelah matanya ke arah Nana, yang praktis membuat Rara seketika heboh dibuatnya. Berbeda dengan Nana yang langsung merasa mual bukan main.
"Mekom, mekom, kalau salam tuh yang bener!"
"Apa sih beb marah-marah mulu, entar kudisan loh."
"Heh! Mana ada kayak gitu?"
"Eh iya. Adanya aku di hati kamu, ya?"
"Cieeeeeee! Syifa, kayaknya ada yang nggak mau diganggu, nih!" cekikik Rara sambil menarik Syifa untuk masuk ke dalam kelas. Tak mempedulikan Nana yang kini menahan kesal diubun-ubun dibuatnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mahkota Impian
Fiksi RemajaTentang cinta murni, cita-cita abadi, dan pahitnya sebuah kehilangan.