Hari itupun tiba. Hari di mana yang selalu Nana harapkan untuk lenyap. Namun sekuat apapun harapan itu, waktu teruslah berjalan. Dan pada akhirnya akan dipertemukan juga. Hingga yang hanya bisa Nana lakukan sekarang adalah memasang wajah paling suntuk sedunia begitu menatap sebuah bangunan yang cukup luas di hadapannya. Bangunan dengan gerbang bertuliskan 'Pondok Pesantren Nurul Qur'an' yang terpampang besar di depan matanya. Ya, inilah tempat yang katanya akan Nana tinggali selama beberapa tahun ke depan.
Mulanya Nana memang selalu menolak mentah-mentah, bahkan setelah insiden kemarahan hebat Ummi. Namun Abi dengan segala caranya juga selalu bisa meluluhkan hati Nana yang sekeras batu itu. Sampai kemudian, meski dengan sangat terpaksa Nana akhirnya setuju-setuju saja.
Nana sempat dibuat melongo karena satu hari sebelum berangkat, semua barang-barangnya sudah diangkut duluan ke pondok. Jadi sekarang ini Nana tidak terlalu membawa banyak barang, paling hanya satu tas di punggung. Itupun hanya buku-buku serta peralatan sekolah lain. Nana juga harus geleng-geleng kepala saat dua hari yang lalu, belum juga ia mengangguk setuju katanya Nana sudah terdaftar sebagai santri baru di pondok pesantren ini.
Siapa lagi jika bukan kerjaan Ummi, yang ternyata niat sekali memang.
"Ummi sama Abi antarnya sampai sini aja, ya?"
Nana hanya mendelik pada Ummi yang barusan bersuara, kemudian mengabaikannya begitu saja karena kini ia menatap Abi dengan wajah melas. Seolah masih keberatan dengan keputusan ini.
Dan Abi yang paling tidak bisa jika sudah melihat Nana seperti ini, dengan segera mengangguk. "Nana masuk, gih. Nanti di dalem Nana tanya-tanya aja. Nana kan anak berani."
"Nana nggak nakal Abi ...."
Abi menggeleng cepat. "Masuk, Na. Ayo. Abi lihat dari sini."
"Nana ikut pulang aja, ya? Nana gak mau di sini, Abi. Nana takut."
Abi mencoba untuk tersenyum. Mengusap lembut kepala Nana yang terlapisi kerudung biru. "Takut apa? Masa anak berani takut?"
"Nana gak kenal sama semuanya."
Tangan Abi turun mengusap air mata Nana. "Biasanya memang begitu, sayang. Tapi nanti Nana juga pasti kenal, kok. Nana akan punya temen-temen yang banyak di sini."
Meski dibujuk begitu, Nana tetap menggeleng kukuh dan malah tangisnya semakin kencang. "Abi ...."
Abi sungguh tidak ingin menangis saat ini. Tapi bagaimana Nana yang menangis seperti itu, akhirnya pertahanan Abi pecah. Hatinya pun sungguh berat, tapi Abi tidak boleh terus seperti ini.
"Abi sama Ummi pamit."
Nana sesegukan saat Abi memeluknya, mencium keningnya, lalu menyuruh Nana masuk untuk ke sekian kalinya. Ummi yang sejak tadi nampak sangsi, turut memeluk dan mencium Nana, meski hanya sebentar karena Nana seperti yang enggan.
Ummi tahu Nana masih marah padanya.
"Jaga diri baik-baik di sini. Belajar yang pintar."
"Abi, jangan tinggalin Nana."
"Abi janji akan selalu jengukin Nana."
"Abi ...."
Tak mau berlama-lama lagi karena takut akan semakin berat melepaskan sang putri, lantas dengan mencoba untuk tega Abi segera pergi bersama Ummi menuju mobil. Meninggalkan Nana yang kini menangis kencang.
-oOo-
Di sinilah Nana sekarang. Berdiri linglung seperti anak kucing yang tersesat. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dan jujur, Nana merasa risi dengan beberapa anak laki-laki bersarung dan berpeci yang terus menatapnya dengan terang-terangan. Ada juga yang terdengar mengucap istighfar sambil memalingkan pandangan. Nana tidak tahu mereka ini kenapa. Nana juga pikir tidak ada yang salah dengan penampilannya. Dia menutup aurat dengan sempurna, kok.
"Apa sih lihat-lihat?" Nana berucap sewot pada tiga laki-laki yang lewat di depannya. Praktis membuat ketiga laki-laki itu terkejut dan mempercepat langkahnya.
Sementara itu, seorang laki-laki dewasa yang menyadari kehebohan pagi itu, sontak terheran. Dan ketika bertanya pada mereka, dia dengan segera menghampiri Nana yang masih memasang wajah polos tanpa dosanya.
"Assalamu'alaikum. Permisi, ada keperluan apa ya, kemari?" tanyanya dengan sesopan mungkin.
Untuk sesaat, Nana memperhatikan cukup lekat pemuda yang sepertinya berusia dua puluhan itu. Membuat pemuda itu beberapa kali membuang pandangan ke arah lain. "Aku lagi cari kamar aku."
"Maaf sebelumnya. Apa kamu santri baru di sini?"
"Ho'oh. Dari tadi aku bingung kok cowok semua. Mau tanya-tanya juga malah pada ngehindar gitu, mana pada baca istighfar lagi, dikira aku ini hantu apa yak?"
Pemuda berkoko biru itu tersenyum tipis. "Mereka bukan menghindar, tapi menjaga pandangan. Dan kamu tidak akan menemukan perempuan di sini karena ini khusus asrama putra."
"Anjrit!" Nana yang kelepasan, dengan cepat membekap mulutnya saat semua pasang mata kompak memusatkan perhatian padanya -lagi-lagi. "Terus asrama putri di mana? Abang bisa bantu gak?"
"Sebentar, ya. Saya hubungi salah satu ustadzah dulu." Lantas pemuda yang Nana akui memiliki wajah seteduh air danau itu terlihat menghubungi seseorang melalui panggilan telepon. Sementara Nana, masih-masihnya melempari tatapan galak pada anak-anak santri yang juga masih saja memperhatikannya.
Tidak berapa lama kemudian, seorang wanita muda datang menghampiri mereka. Dan Nana yakin jika dia pasti ustadzah yang tadi pemuda itu maksud.
"Kamu Nafisa, ya?"
Nana mengangguk.
"Mari ikut saya."
Nana lagi-lagi mengangguk. Lantas dengan gaya sok akrab, Nana mengangkat tangan ke arah sang pemuda. "Makasih ya, Bang. Kapan-kapan kita ngopi. Hehe."
Pemuda itu hanya mengangguk sopan.
"Mari, ustadz Hanafi."
"Mari, ustadzah Syafira."
Apa? Ustadz?!
___ToBeContinued___
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahkota Impian
Teen FictionTentang cinta murni, cita-cita abadi, dan pahitnya sebuah kehilangan.