Adzan magrib terdengar berkumandang dari arah masjid. Seluruh santri tengah bersiap-siap untuk melaksanakan shalat berjama'ah. Namun berbeda dengan Nana, anak itu malah masih nampak berbaringan santai di tempat tidurnya sambil membaca komik Captain Tsubasa seri terbaru yang dibelinya bersama Abi kemarin. Iya, Nana memboyong semua koleksi komiknya ke pondok tanpa tersisa satu pun di rumah.
"Nafisa, ayo ke masjid," ucap salah seorang teman sekamarnya, yang Nana tahu saat perkenalan tadi namanya Syifa. Anaknya manis dan super baik. Saking baiknya dia menawarkan diri untuk membantu Nana saat merapikan barang-barang tadi.
"Bentar lagi," jawab Nana tanpa mengalihkan pandangannya.
"Tapi ini sudah adzan. Ayo cepat bersiap. Anti tidak tahu seperti apa ukhti Aay?"
Nana mengangkat bahu tidak peduli.
"Ustadzah Syafira menitipkan anti sama ana."
"Ya terus?"
"Anti tanggung jawab ana. Jadi ayo bersiap."
Nana mendecak. Mengubah posisi menjadi telengkup. "Mager serius.. shalat di sini ajalah."
"Tidak bisa. Seluruh santri yang mondok di sini wajib shalat fardhu berjamaah. Dan anti harus mengikuti peraturan."
Bukannya menurut, Nana malah menutup kepalanya yang keras itu dengan bantal. Menulikan pendengaran.
Syifa menghela napas panjang melihat kelakuan teman barunya itu. Pasrah, Syifa akhirnya meninggalkan Nana seorang diri di sana karena yang lain sudah pada keluar.
Ngomong-ngomong, asrama putri ini terdiri dari dua puluh kamar. Dan setiap kamar terdiri dari tujuh hingga delapan orang. Nana sendiri menempati kamar Maryam II, kamar paling pojok kedua di lantai tiga dari empat lantai.
Di saat Nana bergembira ria karena merasa bebas, tanpa diduga rupanya ada seseorang yang memergoki di ambang pintu. "Ekhem!"
Nana berhenti jungkir-balik di kasur. Ketika menoleh ke arah sumber suara, Nana nyaris jantungan saat mendapati muka horor seorang perempuan dan jujur Nana agak merinding melihatnya. Apa mungkin itu ukhti Aay yang dimaksud Syifa tadi? Kalau bentukannya begini, sih-
"Kenapa anti tidak ke masjid?"
Ditanya begitu, Nana langsung berpura-pura merintih sambil memegangi perutnya.
"Tidak ada drama-drama di sini! Cepat ke masjid! Ana hitung sampai tiga!"
"Alamak.. galak kali-"
"Satu!"
Nana mengerjap terkejut.
"Dua!"
Nana kebingungan.
"Ti-"
"Eeeeeee iye-iye!"Dengan gerakan panik Nana menyambar mukena dan sajadahnya. Kemudian lari tunggang langgang menyusul teman-temannya yang sudah lebih dulu di masjid.
"Ini tempat wudhu-nya di mana lagi?" Nana kelimpungan saat di teras masjid. Dia melihat seorang laki-laki yang sepertinya hendak berwudhu juga. Kebetulan, Nana ikuti saja anak itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahkota Impian
Teen FictionTentang cinta murni, cita-cita abadi, dan pahitnya sebuah kehilangan.