Chapter 24

1.6K 153 39
                                    

Masih di ruangan yang sama, juga kondisi yang sama, gadis itu terbaring tidak berdaya di atas tempat tidurnya. Terhitung, sudah memasuki dua minggu dia koma. Semenjak berhasil diselamatkan dari kritisnya tempo hari itu, keadaannya memang tak menunjukkan reaksi apapun lagi, namun tidak juga lekas stabil. Hidupnya saat ini benar-benar tergantung pada takdir dan peralatan medis yang berjejalan di setiap tubuhnya.

Tangan lembut itu mengusap anak-anak rambut Nana dengan penuh hati-hati. Ada perasaan iba ketika sepasang mata hazelnya memandangi Nana yang terpejam tenang tanpa beban. Selama ini, dokter Zulfa memang rutin memantau kondisi Nana. Bahkan jika ada waktu senggang, dia selalu menyempatkan diri untuk merawat Nana. Dari membersihkan tubuhnya, memberi makanan lewat selang, hingga mengganti setiap perban di tubuhnya. Meski semua itu bukan tugasnya, dokter Zulfa merasa senang saja. Dia seperti benar-benar menspesialkan Nana dibandingkan pasiennya yang lain.

Tetapi semua itu bukan tanpa alasan. Nana ternyata memiliki wajah yang mirip dengan adik perempuan dokter Zulfa. Sehingga setiap kali dokter Zulfa melihat Nana, dia selalu teringat dengan adiknya yang telah tiada. Umurnya pun tidak jauh berbeda. Walau sampai sekarang dokter Zulfa belum tahu identitas Nana, tapi entah kenapa dokter Zulfa merasa sayang dengan anak ini.

Dengan menyayangi Nana, rindunya pada sang adik terasa sedikit terobati.

Setelah selesai membersihkan luka-luka di tubuh Nana serta mengganti perbannya dengan yang baru, tadinya dokter Zulfa hendak beranjak pergi. Namun sebuah lirihan samar-samar membuat niat itu terurung. Dokter Zulfa melihat bibir Nana bergerak-gerak lemah di balik maskernya, seperti yang sedang mengigau, namun matanya masih terpejam.

Dokter Zulfa kemudian mendekatkan telinganya untuk mendengarkan saksama apa yang sedang diigaukan Nana. Dan masyaaallah.. atas izin engkau ya Allah.. yang terucap lirih dari bibir mungil Nana itu ternyata ayat-ayat suci Al-Qur’an. Dokter Zulfa lalu menyimak baik-baik lantunan ayat demi ayat Nana di alam bawah sadarnya. Pelan, indah, namun acak. Ya, Nana membaca ayat dari surat ini, lalu berpindah ke ayat dari surah lain. Terus seperti itu.

Allah, lihatlah. Wajah Nana amat teduh mendamaikan saat ini. Wajah itu seperti diselimuti cahaya. Indah. Wajah itu indah sekali dengan bibir bergetar melirihkan ayat-ayat-Mu. Dokter Zulfa juga melihat, ada lelehan air yang mengalir di pipi Nana, membuat hatinya semakin berdesir hebat.

Sungguh pemandangan yang menggentarkan. Pemandangan yang akan membuat siapapun menangis melihatnya. Termasuk dokter Zulfa yang matanya kini dibuat berkaca-kaca demi menyaksikan pemandangan mengharukan ini. Wallahi.

Tidak tahu kenapa, dokter Zulfa saat itu merasakan seperti ada getaran di hatinya.

Semakin lama, suara Nana semakin mengecil, menjadi seperti bisikan, sampai kemudian menghilang. Dan selang beberapa saat setelah itu, dengan sangat perlahan sekali, kelopak mata Nana akhirnya terbuka, menyiratkan pendar teduh yang menyakitkan. Juga di tengah samar-samar itu, Nana sempat melihat dua sosok bercahaya yang tengah tersenyum ke arahnya.

Nana berkedip. Seperti mendapat sebuah hantaman keras, kepalanya berdengung sesaat. Bibir pucatnya kembali bergerak-gerak lemah. Hendak membuka suara namun mulutnya seolah masih terkunci.

Dan sekarang dokter Zulfa tak dapat lagi membendung air matanya. Dia bersyukur. Dia bahagia. Dia terharu. Entah bagaimana hatinya terasa emosional seperti ini.

“D-di mana...?” racau Nafisa, lirih sekali sampai nyaris seperti sebuah bisikan. Sempat tersengal karena untuk waktu yang lama, Nana susah payah mengambil napas. Matanya yang sudah sempurna pulih menatap dokter Zulfa penuh tanya.

Mahkota ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang