“Hati-hati, Na, awas kepeleset.”
“Itu tuh yang diujung, gede.”
“Turun aja deh, Na, takut jatuh ana lihatnya.”
“Bukan yang itu, Na, ituuuu yang paling ujung, sebelah kiri. Bukan-bukan, kirian dikit, terus. Ih Naaa masa nggak kelihatan sih? Deket kepala kamu juga.”
“Susah tau! Jangan berisik makanya!”
Pukul sebelas malam itu, di saat yang lain sudah menjemput alam mimpi, maka di sinilah Nana sekarang. Berada di atas pohon mangga dekat rumah Kyai Umar bersama Syifa dan Rara yang sejak tadi hanya bisa merusak fokus Nana. Ide makan rujak mangga itu bermula dari Rara, lalu disetujui oleh Nana karena kebetulan Nana juga sedang ingin makan yang asam-asam pedas. Syifa awalnya jelas menolak, tapi satu lawan dua ya jelas menang yang dua. Makanya sepanjang tadi, Syifa terus mengawasi ke sekeliling dengan was-was. Takut ada yang melihat. Bukan soal mencuri mangganya, tapi menurut peraturan seharusnya sekarang ini para santri sudah tidak boleh lagi keluar dari asrama.
Sebenarnya siapapun diizinkan mengambil mangga. Tidak hanya pohon mangga, banyak juga pohon dan tanaman lain yang tumbuh di sepanjang area pondok yang memang sengaja dikhususkan bagi kebutuhan para santri. Jadi apa yang dilakukan Nana ini bukanlah tindak pencurian. Namun yang jadi permasalahannya, mereka tidak tahu waktu.
“Na, turun aja ayo, nanti ketahuan sama ukhti yang patroli gimana? Bisa-bisa kita kena takdzir!” Syifa itu santri baik-baik yang menjunjung tinggi peraturan. Berprestasi dan teladan. Dia yang sebelumnya tidak pernah diajak sesat seperti ini tentu uring-uringan.
“Ngaco kamu. Mana mungkin mereka sampai sini. Na, udah dapet belum?”
Nana terlihat susah payah menggapai mangga mengkal yang sejak tadi ditunjuk-tunjuk Rara. Pohon mangga ini cukup tinggi, tapi kemampuan memanjat Nana memang tak perlu diragukan lagi.
Di saat Nana dan Rara sibuk dengan mangga, maka Syifa menajamkan pendengarannya ketika sayup-sayup dia mendengar suara dua orang yang mengobrol. Dan ketika mengalihkan pandangan pada rumah Kyai Umar, Syifa membulatkan mata melihat seorang wanita paruh baya dan seorang pemuda yang berjalan ke arahnya.
“Astaghfirullah, ada Ummah sama Akhi Zidan!” Ummah adalah panggilan para santri kepada istri Kyai Umar. Rara praktis menoleh.
“Emangnya kenapa kalau ada Ummah sama Akhi Zidan?” Rara bertanya polos. Tidak paham situasi yang padahal amat darurat ini.
Syifa segera menarik Rara tanpa menjawab pertanyaan anak perempuan itu. Mereka bersembunyi entah di mana yang tanpa memikirkan Nana di atas sana yang geram karena dengan teganya ditinggal begitu saja oleh kedua sahabatnya. Entah mereka itu lupa atau memang tidak peduli.
“O-oi! Kampret lu ya berdua!” Nana bingung antara turun dan ikut bersembunyi atau tetap di tempatnya. Namun melihat Ummah dan sosok pemuda bernama Zidan itu yang semakin mendekat, akhirnya Nana memilih opsi kedua. Terjebak di atas pohon dengan sebisa mungkin tidak bergerak sedikitpun. Bahkan Nana ikutan menahan napas ketika Ummah dan Zidan malah berhenti di dekat pohon mangga ini.
Dan betapa Nana sangat ingin mengutuk perutnya yang mendadak bergemuruh aneh. Perasaan Nana semakin tidak enak. Sebelum kemudian, hasrat ingin buang angin itu tak dapat ditahan lagi. Mana suaranya cukup keras hingga Nana akhirnya benar-benar mengutuk perut yang sangat tidak pengertian ini.
“Suara apa itu?” Ummah bertanya pada Zidan saat pemuda itu langsung menatap ke sekeliling.
“Suaranya dekat, sih. Tapi di sini sepertinya nggak ada siapa-siapa selain kita,” ujar Zidan. Nana di atas sana membekap mulutnya agar tidak mengeluarkan suara sedikitpun.
![](https://img.wattpad.com/cover/182596805-288-k664875.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahkota Impian
Teen FictionTentang cinta murni, cita-cita abadi, dan pahitnya sebuah kehilangan.