Selagi menunggu datangnya masuk subuh, para santri yang sudah berkumpul di masjid beramai-ramai muroja'ah Qur'an, karena sehabis subuh nanti akan ada setoran hafalan. Sebuah rutinitas wajib yang di mana pukul setengah empat para santri sudah harus berada di masjid. Dan sebelum membuka Al-Qur'an, biasanya mereka menunaikan shalat tahajud terlebih dulu.
Namun lain ceritanya dengan Nana. Pada gaya paling tidak keren, dia tampak santai tanpa beban tengkurap dengan posisi bersila. Syifa di sebelahnya sudah berkali-kali berusaha membangunkan Nana, namun— kalian tahu sendirilah bagaimana anak itu.
Masalahnya, Nana tidak tahu saja seberapa menyeramkannya para ukhti senior yang biasa memantau di belakang sana.
Dan seperti yang sudah-sudah, sebuah sejadah tebal itu pun terayun dengan cukup keras di punggung Nana. Sebuah jurus jitu yang pada akhirnya sukses membuat anak itu terperanjat kaget hingga kedua mata belernya langsung terbelalak.
Nana awalnya ingin sekali menghajar siapa orang yang dengan teganya sudah menganggu mimpi indahnya naik sapi terbang, namun Nana harus menahan sumpah serapahnya yang padahal sudah memuncak di ubun-ubun ketika mendapati wajah horor itu lagi.
“Setaaaaann!!”
Ukhti Aay yang semula memang sudah melotot, menjadi semakin melotot sampai kedua bola matanya hampir keluar. Apalagi para santriwati di dekat Nana. Mereka nyaris jantungan.
“Siapa yang menyuruh tidur?!”
Tidak hanya bentukannya, suara ukhti Aay tak kalah seram —apalagi kalau marah-marah seperti ini. Nana berteriak begitu tadi bukan tanpa alasan. Wajah ukhti Aay memang putih pucat serta memiliki mata panda, didukung dengan badannya yang tinggi besar membuat perempuan galak itu tampak seperti makhluk-makhluk astral yang sering diceritakan Jaya dalam film-film yang ditontonnya.
“Ngantuk sis.” Nana menguap lebar.
Jawaban Nana yang santai, semakin menambah kesal ukhti Aay. Hidungnya yang kembang kempis persis seperti banteng matador yang ngamuk.
“Cepat abdas!”
Seolah haram bantahan dari nada bicaranya, Nana terpaksa menurut. Meski sebenarnya Nana bisa saja melawan, tapi saat ini Nana terlalu malas untuk itu. Maka dengan hati dongkol, Nana beranjak menuju kamar mandi.
Ketika Nana berjalan di koridor kamar mandi, dia seketika menghentikan langkah saat sayup-sayup terdengar lirihan isak tangis. Nana kemudian mengedarkan pandangan, berusaha mencari sumber suara. Tapi di sini sepi, tidak ada satu pun orang yang tampak hilir mudik.
Semakin Nana ke arah timur, tangisan itu semakin keras terdengar. Hingga Nana menduga, jika tangisan itu berasal dari pintu kamar mandi nomor empat. Lantas dengan mencoba memberanikan diri, Nana perlahan mendekati kamar mandi terujung itu. Beberapa kali Nana tampak menelan ludah. Ragu-ragu, Nana pun membuka pintu.
Hei, Nana itu bukan takut, ya. dia hanya ... sedikit waspada saja.
Pikiran Nana tentang sosok astral itu langsung buyar setelah mendapati seorang anak perempuan yang terduduk di pojok ruangan dengan wajah ditenggelamkan di atas lutut. Dia menangis tersedu-sedu. Merasakan kehadiran seseorang, anak perempuan itu lantas mendongak.
“Kamu siapa?” tanya Nana.
“Kamu sendiri siapa?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahkota Impian
Teen FictionTentang cinta murni, cita-cita abadi, dan pahitnya sebuah kehilangan.