Nana masih tersedu di tempatnya. Termenung memikirkan apa yang sebenarnya telah terjadi. Dan ketika itulah, sesosok wanita berpakaian putih bersinar yang entah sejak kapan tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya. Nana dengan spontan mendongak, menatap antara bingung dan takut ke arah wanita itu. Pasalnya Nana tidak mengenali siapa wanita ini dan tidak pernah ia temui sebelumnya. Tetapi, dia sangat cantik sekali. Wajahnya yang berseri memancarkan cahaya bagaikan purnama, dan tatapannya yang teduh begitu damai bagai danau tanpa riak.
"Assalamu'alaikum," sapa wanita itu dengan suara lembut namun berwibawa.
"Wa-wa'alaikumussalam."
Wanita itu tersenyum sangat indah yang kemudian mensejajarkan posisi tubuhnya dengan Nana. "Kenapa kamu menangis?"
"Nana takut ..." jawabnya lirih.
"Memangnya apa yang kamu takutkan?"
"Ummi sama Abi pergi." Nana kembali terisak, mengadu keluhannya begitu saja. "Mereka ninggalin Nana ...."
"Tidak ada yang meninggalkanmu, Nafisa."
"Bohong!" Nana menyeka air mata serta ingusnya dengan punggung tangan. Tidak meninggalkan bagaimana? Jelas-jelas Nana melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa tadi Ummi dan Abi dengan tega pergi tak mengajaknya.
"Demi Allah, aku tidak membohongimu." Wanita itu mengelus lembut pipi Nana dengan senyum yang terus mengembang di bibirnya. Nana terdiam. Usapan yang menenangkan. Hingga perlahan berhasil membuat Nana berhenti dari sedu sedannya. Juga membuatnya sedikit lebih tenang.
Wanita itu kemudian kembali berdiri sambil mengulurkan tangan ke hadapan Nana, menuntun Nana untuk ikut berdiri juga. Nana menerima uluran tangan wanita itu, yang ternyata hendak mengajaknya ke suatu tempat. Mereka berhenti di sebuah jembatan, yang di mana terdapat telaga di bawahnya. Namun airnya berwarna putih bersih, seperti air susu.
"Ini kok kayak susu?"
"Itu memang susu."
Nana menyeringai takjub. Tempat ini memang benar-benar mengagumkan. Saking jernihnya telaga susu itu, sampai rasanya Nana ingin sekali melompat ke dalamnya kalau saja wanita anggun di sampingnya kini tidak memanggilnya.
"Nafisa."
Nana menoleh.
"Apa yang kamu pikirkan tentang tempat ini?"
Nana berpikir beberapa saat sambil menyapu pandang ke sekitar. "Tempat ini indaaaaah banget. Nana jadi ingin terus di sini."
"Kalau begitu, ibaratkan Al-Qur'an seperti tempat ini dan proses menghafalmu seperti sedang memasuki tempat ini. Jadi sudah semestinya kamu juga merasa betah dengannya, bukan buru-buru ingin keluar."
Nana terdiam mendengarkan.
"Demi Allah, Al-Qur'an itu indah sekali, sangat indah. Bahkan lebih indah dari sekadar tempat ini."
Nana tersenyum membenarkan.
"Dan satu hal yang harus kamu tahu. Seorang penghafal Qur'an sejati itu bukanlah tentang siapa yang hebat, tapi siapa yang ikhlas." Wanita itu memberi jeda sebentar pada kalimatnya sambil menatap lurus ke depan. "Meski memang semuanya tidak akan mudah, tapi kamu haruslah yakin, adakalanya itu adalah cara Allah mencintaimu. Allah tidak ingin memberikan ayat-ayat-Nya sampai kita benar-benar layak dicintai oleh-Nya. Karena menghafal Al-Qur'an adalah proses mencintai. Di saat kamu berniat menghafal ayat demi ayat, maka di situlah kesungguhan cintamu akan diuji."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahkota Impian
Teen FictionTentang cinta murni, cita-cita abadi, dan pahitnya sebuah kehilangan.