"Bersihkan yang benar!"
Nana mendengus kasar sejadi-jadinya. Sengaja agar didengar oleh si kunti kutukupret bebegug garong itu -bodo amat Nana mau dicap kurang akhlak atau apa, tapi yang jelas Nana benar-benar kesal sekarang. Masa coba Nana disuruh bersihin kloset? Mana semuanya lagi! Segalak-galaknya Ummi di rumah, Ummi saja tidak pernah sampai setega ini.
Nana mulanya jelas tidak terima, apalagi Nana sangat benci disuruh-suruh. Tapi, dia bisa apa?
"Apa? Mau membantah?!"
Betapa Nana sangat ingin menggaruk muka songong kunti satu ini dengan sikat kloset ditangannya. Sumpah, dia itu sok berkuasa banget. Mentang-mentang senior, seenaknya sekali dia.
"Setelah ana kembali, semuanya harus sudah bersih. Fahimti?"
"Nee."
"Apa?"
"Iyaaaa."
Sepeninggal ukhti Aay, Nana membanting sikat kloset begitu saja. Nana sungguh sangat kesal setengah mati. Saking kesalnya, Nana sampai menangis. Bodo amat, nggak bakal ada yang ngelihat ini, pikirnya.
Nana kurang sabar apa menerima kenyataan bahwa kini dirinya harus mendekam di penjara suci -di mana semuanya benar-benar terasa seperti penjara. Tapi kenapa harus begini juga? Ya Allah, Nana tidak betah. Nana ingin pulang saja. Nana rindu Abi.
Nana menangis semakin keras sambil gelonjotan di lantai kamar mandi seperti anak berumur lima tahun. Dia bahkan menghentak-hentakkan kaki dan tangannya hingga memukul apa saja yang ada di sekitarnya.
"Nafisa?"
Sebuah suara terdengar setelah pintu terbuka dari luar. Nana melihat ustadzah Syafira bersama seorang anak perempuan di belakangnya.
"Nafisa kamu kenapa?" Ustadzah Syafira menghampiri Nana. Tampak khawatir. Tapi Nana hanya diam.
"Nafisa, ada apa? Ayo bilang sama ustadzah."
Tangisan Nana perlahan mengecil. Hidung dan matanya memerah seperti habis terbakar. "Mau pulang.."
"Loh, kenapa? Kok tiba-tiba? Kemarin ustadzah lihat kamu baik-baik aja?"
"Aku nggak betah, ustadzah. Orang di sini galak-galak.."
"Siapa memangnya yang sudah begitu sama kamu?"
Nana tak langsung menjawab. Dia kembali diam sejenak.
"Bilang aja, jangan takut."
"Tapi kalau dia makin galak sama aku gimana? Nanti aku dikira cepu."
"Enggak. Ustadzah hanya akan menegurnya."
Nana mengatur napasnya terlebih dahulu karena tangisannya barusan masih menyisakan isakan. "Ukhti Aay, ustadzah. Masa aku disuruh bersihin toilet? Padahal aku cuma nipuk kepalanya pake bola doang, nggak pake baja. Itu pun nggak sengaja. Siapa suruh dia lewat situ."
"Wah, ukhti Aay! Aku juga kemarin disuruh bersihin rumput di belakang dapur pake tangan. Emang bener-bener kejam sih dia!" santriwati yang bersama ustadzah Syafira tadi ikut mengimpori. Nana menoleh padanya. Jika dilihat-lihat, sepertinya Nana tidak asing dengan anak ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahkota Impian
Fiksi RemajaTentang cinta murni, cita-cita abadi, dan pahitnya sebuah kehilangan.