Chapter 3.3: Collin II

39 8 0
                                    

Akhirnya tiba juga hari yang kunantikan. Jujur saja, aku tidak bisa tidur semalam. Aku terus memikirkan hal-hal menakjubkan yang akan aku lihat hari ini. Makanya meskipun mengantuk, aku tetap bersemangat.

Sebelum berangkat, ayah dan ibu memaksaku untuk makan yang banyak supaya aku bisa tetap berkonsentrasi dan tidak kehabisan tenaga. Lalu, ibu memberitahuku kalau kak Naza yang akan menjaga kami selama acara berlangsung. Sebenarnya aku sedikit kecewa, aku berharap kak Gwei lah yang akan menjaga dan memberi arahan kepada kami secara langsung karena dia nantinya yang akan melatihku. Tapi, tak apalah. Kurasa aku pun bisa mendapat pelajaran yang berharga dari kak Naza.

Segera setelah selesai makan, aku berlari ke Teras Pertama mendahului ayah dan ibu. Di sana aku melihat kereta kerajaan yang sudah disiapkan kak Naza dan anak buahnya. Sejak pertama kali aku melihat kereta kerajaan itu, aku sangat terpesona. Kereta itu berlapis emas, banyak ukiran berbentuk kuda dan batu-batuan gemerlap yang menghiasinya. Dari jendela-jendela kereta yang besar, aku dapat melihat delapan buah kursi yang saling berhadapan, kursi berwarna merah. Di belakang, terdapat dua buah roda yang besarnya hampir menyentuh atap kereta, roda-roda itu juga berlapis emas, aku menyebutnya roda terlarang, sebab aku tidak boleh mendekati roda-roda itu yang katanya memiliki tekstur yang sangat tajam. Dan yang paling membuatku takjub adalah dua ekor kuda yang berada di paling depan, kuda itu sangat besar, jauh melebihi empat kuda lain yang ikut menarik kereta itu. Aku sangat bahagia karena akhirnya aku dapat menaiki kereta yang jarang sekali digunakan oleh ayah.

Ayah menepuk pundakku dari belakang sambil tersenyum. Aku segera memeluknya erat, mengungkapkan rasa terima kasihku karena telah diperbolehkan ikut. Ibu kemudian menyusul untuk menciumku di kening, sebelum kami bersama sama menuruni tangga istana dan naik ke dalam kereta kerajaan itu.

Setelah kami semua naik, kak Naza memberi perintah untuk segera berangkat. Dan alangkah kagetnya aku, kereta ini ternyata tidak memiliki kusir! Aku kembali takjub setelah menyadari ternyata kak Naza memberi perintah kepada dua ekor kuda yang berada di depan. Ternyata mereka mengerti apa yang dikatakan kak Naza! Dengan spontan aku bertepuk tangan, ayah dan ibu hanya tertawa melihat tingkah konyolku.

Setelah tiga jam lamanya, kami pun sampai di tempat tes pertama berlangsung. Aku segera berdiri dari kursi untuk melihat keadaan luar melalui jendela yang tertutup rapat. Nampaknya ayah sengaja mengunci jendela itu supaya tidak ada sesuatu yang tak diinginkan masuk ke dalam kereta.

Aku mengamati satu per satu kawasan hutan, di balik semak, di atas pohon, di balik rerumputan tinggi, namun aku tidak dapat melihat adanya tanda-tanda kehidupan. Melihatku kesulitan, kak Naza mengetok jendela dari luar, ia memberiku petunjuk dengan jari telunjuknya.

Ternyata, ada seseorang calon prajurit yang bersembunyi di balik sela-sela bebatuan. Prajurit itu nampak sedang menunggu sesuatu. Meskipun jauh, aku masih bisa melihatnya mengeluarkan sebilah pisau dari sakunya. Aku sempat bingung ketika dirinya menjatuhkan pedang yang ia genggam di tangan kanannya.

Kenapa ia melakukan hal itu?

Rasa penasaranku dengan cepat terjawab. Tak lama setelah orang itu menjatuhkan pedangnya, ada seekor harimau yang melompat ke arahnya. Aku sungguh kaget ketika harimau itu mengaum kencang. Calon prajurit itu dengan cepat meringkukkan badannya masuk jauh lebih dalam, sehingga membuat harimau tersebut tidak dapat meraihnya karena celah bebatuan yang terlalu sempit baginya.

Tapi, harimau itu seperti tidak mau menyerah. Dia terus berusaha menggapai dengan mengayunkan kakinya ke dalam bebatuan, berharap bisa menarik calon prajurit yang sedang bersembunyi itu keluar.

Jantungku berdebar sangat kencang, aku seperti sedang menaiki kuda yang sangat cepat. Kugerakkan kepalaku ke kiri dan ke kanan untuk mencari sudut pandang yang tepat. Ah itu dia! Akhirnya aku bisa melihat sosok calon prajurit yang mencari kesempatan untuk menyerang. Tanpa kusadari aku mengepalkan tangan sekuat tenaga, jantungku semakin berdegup kencang seakan mau keluar dari dadaku. Astaga, apa yang akan calon prajurit itu lakukan?!

Belum sempat aku memprediksi tindakannya, tiba-tiba calon prajurit tersebut menyayat kedua kaki harimau itu dengan pisaunya, gerakannya sangat cepat! Mulutku ternganga dan mataku terbelalak, bagaimana dia bisa melakukan hal itu dari sela-sela batu yang sempit?!

Mataku tertuju ke arah harimau yang mengaum kesakitan, ia menjatuhkan diri dari atas batu dan berguling-guling di atas tanah. Sedangkan calon prajurit yang semula bersembunyi di sela-sela batu, dengan tenang keluar dari persembunyiannya. Aku terkejut, bagaimana dia bisa yakin untuk melakukan hal tersebut? Karena bisa saja harimau itu melompat ke arahnya dengan sisa tenaga yang dia miliki, bukan?

Aku melihat ke arah harimau itu lagi, namun harimau tersebut tidak bergerak, dia MATI! Aku tersenyum, ternyata begitu ya, pantas calon prajurit itu begitu percaya diri.

"Racun ya?" aku menebak lalu menyeringai ke arah ayah dan ibu. Ibu terlihat tertegun mendengar tebakanku, sementara ayah langsung tertawa lebar. Melihat reaksi mereka, aku langsung tahu kalau tebakanku benar, tak sia-sia aku menghabiskan banyak waktu di perpustakaan kemarin, membaca itu mengasyikkan!

"Kau hebat Collin," ayah memujiku. "Lalu, apa kau tahu, alasan dibalik calon prajurit itu menjatuhkan pedangnya?"

"Karena pisau lebih cepat!"

Ayah sekali lagi tersenyum dengan lebar. "Aku bangga padamu nak!"

Aku sangat senang karena sekali lagi aku dapat menjawab dengan benar. Aku tak bisa berhenti tersenyum.

"Namun, ada satu alasan lagi nak,"

Sempat aku berpikir selama beberapa waktu untuk menerka, namun aku tidak bisa menemukan jawaban.

"Calon prajurit itu sengaja menjatuhkan pedangnya supaya harimau itu mengira sudah aman baginya untuk menyerang." ayah menjelaskan, "Baik harimau maupun calon prajurit itu sudah tahu bahwa mereka sedang mengincar dan diincar. Namun calon prajurit itu memiliki pemikiran satu langkah lebih jauh dibandingkan si harimau."

"Orang itu hebat ya! Kurasa dia akan menjadi seorang prajurit yang handal!"

Ayah mengelus kepalaku. "Belum tentu nak," ia tersenyum. "Seorang prajurit kerajaan harus memiliki kapasitas yang lebih unggul dibandingkan sekedar membunuh seekor harimau. Ayah yakin, paman Diadum akan menolak dirinya mentah-mentah apabila ia pulang hanya dengan menunjukkan kepala harimau itu."

Luar biasa..., aku jadi ingin untuk segera memulai pelatihanku bersama dengan kak Gwei!

Ayah bersiul, mengisyaratkan kuda terdepan untuk maju melanjutkan perjalanan. Ibu dengan gigih berusaha menutupi pandanganku dengan tangannya, ia masih tak memperbolehkanku melihat calon prajurit itu memotong kepala si harimau. Tentu saja aku tak melawannya, karena aku tahu ibu ingin yang terbaik untukku.

Perjalanan kami terus berlanjut, masih ada beberapa jam lagi sebelum tes pertama selesai. Aku berharap agar ayah terus membawaku berkeliling sampai ke detik-detik terakhir.

Aku ingin belajar lebih banyak lagi!

~~~~~

"Chapter 4.1: Black Buds" akan terbit pada tanggal 16 Juli 2019.

Ancient's Realm: Stallions & SerpentsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang