DS 01 - Hukuman

7.9K 539 42
                                    

Jurus seribu langkahnya berhenti tepat di depan gerbang sekolah yang sudah dikunci rapat. Hari Senin memang anugerah baginya, karena harus bertemu dengan bel yang berbunyi lebih cepat sepuluh menit, pelajaran matematika di jam pertama setelah itu dilanjut dengan olah raga tepat di pagi yang terik. Ia berkacak pinggang menatap ke dalam area sekolah, upacara bendera sudah hampir dimulai. Racun untuk membolos akhirnya menyelinap masuk ke dalam ruang otaknya yang selalu geser. Ia membalikkan tubuhnya dan ....

"Mau kemana kamu?!" Pak Haris ada di hadapannya. Penggaris papan tulis sepanjang satu meter dicekalnya kuat-kuat.

Ia meneguk salivanya yang mengering. Guru galak itu selalu saja menggagalkan aksi bolosnya karena telat dan berujung hormat bendera hingga dua jam lamanya. Seraya nyengir lebar, ia menjawab, "Mau bolos, Pak. Eh, malah ada Bapak. Gak jadi, deh."

Prak!

Penggaris panjang itu mendarat di lengan atasnya, "Masuk!" gertak Pak Haris dengan begitu galak.

"I-Iya." Ia digiring Pak Haris menuju tengah lapangan.

Sorak penuh dengan hujatan dan umpatan mengalun riuh menyambutnya. Dan ia sudah biasa untuk menerimanya.

"Abhimata Sadewa, lagi?" Pak Agus selaku kepala sekolah berujar.

Laki-laki yang disebut namanya mengangguk, "Iya Pak! Jangan kangen!" teriaknya semakin membuat gaduh keadaan yang semula penuh khidmat. Satu pukulan dari penggaris Pak Haris mendarat lagi, tidak terlalu keras. Namun, cukup membuatnya mengaduh.

"Aduh, Pak. Penggarisnya genit amat," serunya langsung mendapatkan bentakan dari Pak Haris, "Diam!"

Ia pun terdiam. Bukan karena takut, hanya saja ia kaget dengan suara itu. Bukan seorang Bima jika ia memiliki rasa takut, kecuali pada Tuhannya.

"Bosan saya melihat kamu," ujar Pak Agus menatap Bima dengan intens. Yang ditatap hanya bersikap santai, seolah tidak merasa berdosa atas kesalahannya.

"Jangan bikin saya bertepuk sebelah tangan dong, Pak. Sedih!" sahut Bima masih sempat saja membalas ucapan Pak Agus.

Murid satu sekolah sontak meneriakinya.

Pak Agus tidak menyahutnya lagi. Ia meminta semuanya untuk diam dan menjadikan Bima sebagai pembelajaran untuk tidak ikut bersikap gila. Hingga selama amanat upacara, banyak petuah yang Pak Agus sampaikan.

Bima yang dihukum untuk menghormat bendera perlahan posisi hormatnya mengendur dan malah semakin merunduk dengan tangan saling tertaut di belakang badannya. Posisinya yang berubah total ini membuat Pak Haris kembali geram.

"Bisa hormat gak kamu?!"

"Gak, Pak. Pegel saya."

"Sini kamu." Pak Haris lantas membawa Bima ke tengah lapangan. Hukumannya benar-benar membuat Bima merasa terpanggang oleh panasnya matahari pagi.

"Renungkan."

"Saya sudah merenung semalaman kemarin, Pak."

Pak Haris berlalu dan tidak menggubris ocehan Bima yang akan membuatnya semakin meletup-letupkan isi kepalanya.

Bima menolehkan kepalanya ke belakang. Ia melihat lelaki yang serupa dengannya tengah menatap ke arahnya dengan sorot begitu tajam. Ia berseringai kecil kemudian kembali menatap ke depan.

Setengah jam kemudian upacara usai. Menyisakan Bima dan murid-murid bandel lainnya yang paling rajin membuat keonaran di lapangan. Mereka dibariskan. Menghadap ke arah tiang bendera yang searah dengan matahari dan menghormat hingga satu jam.

Di kejauhan Pak Haris memantau murid-murid bandelnya yang didominasi oleh para siswa. Terutama Bima yang selalu saja memiliki nyali cukup untuk kabur dari hukumannya.

Mata Bima yang semula mendongak menatap kain bendera, kini beralih oleh kehadiran cewek yang sudah ia kenal sejak jaman dirinya masih berbentuk bulat seperti tahu. Entah, hatinya bergetar begitu saja meski cewek itu sedang tidak menatapnya. Ia menghela napas.

Panas matahari perlahan semakin menyengatnya. Sepuluh menit lagi bel jam pelajaran kedua berbunyi. Ia tidak sabar untuk melesat menuju kantin atau malah menongolkan kepalanya di kelas XI IPA 1 hanya sekedar mengecek cewek itu yang duduk bersebelahan dengan kembarannya. Detik demi detik ia hitung sampai tiba lah ia terbebas dari hukuman di hari Senin ini. Sebetulnya ia tidak benar-benar terbebas, selalu saja ada mata yang mengawasi gerak-geriknya.

Tanpa mempedulikan mata itu, ia melesat menuju kantin minimal koperasi sekolah untuk membeli sebotol air mineral.

Sepi. Proses belajar mengajar masih berlangsung. Ia tidak langsung pergi ke kelasnya. Ia menatap ke arah segerombolan anak kebanggaan guru-guru yang baru saja keluar kelas untuk melakukan observasi. Di tangan mereka masing-masing membawa buku praktek dan alat tulis lainnya. Ia duduk di bangku semen dekat taman sekolah. Pandangannya berhadapan langsung pada segerombol siswa-siswi tadi. Ada Bama, saudara kembarnya. Cowok itu berjalan mendekat.

"Bam." Bima menegurnya.

"Pulang jam berapa lo semalem?" Nada tanya Bama terdengar menusuk.

"Dua." Bima menjawabnya dengan santai. Ia menatap raut serupanya dengan hati yang selalu teriris-iris. Apalagi jika mengingat keadaan Bama yang hanya terlihat kokoh di luarnya saja. Namun di dalamnya, laki-laki itu tengah berusaha keras untuk melawan rasa sakitnya yang selalu bertubi-tubi menusuk indra perasanya. Tidak ada yang tahu perihal ini, kecuali dirinya sebagai adik yang pernah berbagi rahim untuk kakaknya.

"Di tas gue ada bekal. Lo ambil aja," ujar Bama berniat berbagi. Ia tahu, pasti sejak kemarin Bima menahan cacing-cacing di perutnya agar tidak berdemo begitu saja.

Namun Bima malah menolak dengan alibi sederhananya, "Nyokap siapin bekal buat lo. Bukan buat gue." Ia bangkit kemudian berlalu dan menepuk pundak Bama, "Gue masuk dulu," pamitnya.

Sejak hari Sabtu, Bima tak terlihat oleh netranya dan baru akan muncul kembali di hari Senin. Dan itu terjadi berulang kali di setiap akhir pekan. Sedikit besit iri di hati Bama, ia ingin seperti adiknya yang selalu saja bisa bepergian sesuka hatinya tanpa perlu dikhawatirkan. Pulang pun tergantung ingatannya terhadap jalan menuju rumah.

Sebaliknya, Bima justru merasa iri dengan posisi Bama meski laki-laki itu mengidap penyakit langka yang sewaktu-waktu dapat menghentikan gerak jantungnya. Namun, setidaknya ada perhatian yang selalu tercurah penuh dengan kasih sayang tanpa pengecualian dari kedua orang tuanya. Ia juga iri, dengan Bama yang memiliki banyak teman juga sahabat yang selalu ingin ada di dekatnya. Tidak seperti dirinya yang memiliki teman hanya ketika ia mendaki gunung, itu pun bertemu saat di jalur pendakian. Selebihnya mereka akan berpisah dan mungkin ... saling melupakan, hanya beberapa saja yang mau bertahan untuk berteman dengannya hingga saat ini.

Bima sudah berjalan menuju kelasnya. Bama melanjutkan kegiatan observasinya yang dilakukan hanya di sekitar lingkungan sekolah.

Ia ketuk pintu ruang kelasnya yang terbuka lebar. Di dalam ada Bu Sukma yang tengah menerangkan materi ajarannya, matematika. Sungguh, angka-angka yang terpampang jelas di papan tulis seketika membuatnya merasa mual. Ia benci matematika. Sejak jaman condor baru belajar terbang, ia sudah membencinya.

"Mau ikut pelajaran saya?" tanya Bu Sukma yang sudah paham dengan kelakuan Bima dan jika ikut mata pelajaran yang diampunya pasti akan selalu berakibat keributan di kelas.

Bima terlihat diam di ambang pintu. Ia edarkan tatapannya ke seluruh teman-teman sekelasnya, "Temen-temen. Boleh gak?" tanyanya kemudian.

Beberapa orang saling melempar tatap, "Kalo lo cuma bikin ribut. Jangan deh," halau Arya selaku ketua kelas XI IPA 3.

Bima menatap Bu Sukma, "Bu. Gak boleh," adunya.

"Duduk," perintah Bu Sukma pada akhirnya. Namun Bima masih mematung di tempatnya.

"Masuk ya masuk! Keluar ya keluar! Jangan plin-plan!" celetuk salah satu di antara mereka. Mata Bima mengedar mencari pemilik suara cempreng itu. Sampai akhirnya matanya tertuju pada seorang cewek yang selalu berlagak sok berkuasa di sekolah, dia lah Luna. Tatapan mematikan ia suguhkan untuk cewek itu.

TBC...

DANKE SCHÖNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang