DS 24 - Ritme

3.9K 369 207
                                    

Bama berdiri menatap gerbang sekolahnya. Sudah hampir dua minggu berlalu dan dirinya belum juga menemukan jawaban atas keberadaan Bima. Meski sebenarnya ia tahu bahwa Ray dan Luna menyembunyikan semuanya rapat-rapat. Ia melangkah. Pikirannya entah terbang ke berbagai arah. Sampai tidak sadar ia harus menabrak beberapa orang yang berlalu lalang untuk masuk ke dalam kelasnya. Pagi yang sunyi, tanpa candaan riang dari Bima yang selalu hadir untuk menghiburnya. Apalagi saat dirinya pasca melakukan terapi.

Bel masuk sudah berbunyi beberapa menit yang lalu. Langkahnya berhenti di lorong yang sepi. Matanya dengan hampa menatap ujung lorong yang jauh dari jaraknya. Ia bergeming. Namun jantungnya berdebar keras sampai kemudian berhenti dan membuat tubuhnya ambruk hanya dalam hitungan detik.

Puluhan pasang mata di balik jendela kaca seketika tertuju ke arahnya. Bisik-bisik pun terdengar berisik. Lantas merambat ke telinga seorang gadis yang tengah mempersiapkan semua alat tulis sebelum pembelajaran dimulai.

Cindy terpaku. Ia sempat menatap heran teman-teman satu kelasnya yang memandangnya penuh isyarat. Ada sesuatu yang terjadi pada Bama, kah? Tanpa berpikir panjang lagi dirinya bangkit dan berlari menuju ke luar. Ada apa dengan Bama?

Retinanya menangkap tubuh yang terlihat lemah di lorong koridor kelas serta dengan wajah yang memucat. Cindy menghampiri Bama yang terbaring tanpa gerak sedikit pun. Rasa takut mendadak seolah menyelimuti seluruh atmosfernya hingga tidak memberikan celah secuil pun. "Bam. Bama." Gadis itu menggoyangkan tubuh Bama yang tidak memberikan respon apapun terhadapnya.

Sampai pada titik pusat ketakutan benar-benar melingkupi dirinya. Tidak mungkin. Tidak boleh ada yang pergi! "BAMA!" teriaknya keras menggelegar ke seluruh penjuru sekolah. Ia tidak ingin kehilangan Bama, ia tidak ingin lagi merasakan kehilangan setelah dua orang yang paling dicintainya pergi untuk selama-lamanya.

Tidak. Tidak boleh ada yang pergi!

Tim medis datang dengan mendorong brankar untuk membawa Bama masuk ke dalam mobil ambulan yang siap membawanya ke rumah sakit. Semoga semuanya baik-baik saja. Sekonyong-konyong doa ia panjatkan, berharap Tuhan tidak membuatnya kembali merasa kehilangan dengan waktu yang secepat ini.

***

Matanya perlahan terbuka. Begitu berat. Ruangan yang begitu asing membuatnya tidak mengerti harus berbuat apa. Kemudian menoleh ke arah samping. Ada seorang cewek yang tengah terlelap dengan rasa lelah melekat di tubuhnya. Terdengar suara pintu dibuka dan menampakkan sosok Ray yang berdiri di ambang pintu.

"Bim," panggil Ray pada Bima yang hanya terbaring lemah di tempatnya. Retina Bima tertuju padanya yang kembali berjalan mendekat.

Binar kebahagiaan terpancar jelas di mata Ray. Sahabatnya satu ini seakan telah menemukan harapan setelah sekian lama sempat hilang. Tangan Ray meraba tubuh Bima lalu menggenggam tangannya. "Biar gue panggil dokter, ya," ujar Ray hendak beranjak pergi, tapi lengannya harus tertahan karena genggaman tangan Bima.

Mungkin sudah waktunya Bima meninggalkan semuanya. Semua rasa sakit dan hampa yang selama ini menyelimuti dirinya. Luna terbangun, ia pun menunjukan binar bahagia seperti Ray. Memancarkan segala harapan besar bahwa Bima sudah kembali.

Sepasang bibir Bima bergerak. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan pada sahabat yang kini berada di hadapannya sebelum ia kembali terlelap dengan panjang. "Help me for life with Bama," ujarnya lemah.

Dahi Ray mengernyit dalam. Luna pun menatapnya penuh tanya. Apa maksud Bima? "I will meet my Mom. I miss her," lanjut Bima.

"Don't." Luna menatap Bima dengan dipenuhi rasa takut. "You don't go. No one can go." Bibirnya gemetar.

"But I must go." Bima memejamkan matanya. "I want to live in Bama. Help me." Hening.

Semuanya seolah berubah hampa.

"Bima. Wake up!" gertak Ray berharap Bima bangun seperti sediakala. Tidak mungkin! Tidak mungkin jika Bima pergi! "I believe you. That you are strong. I believe you, Bim!"

"Impossible," lirih Luna merasa ada satu puzzle dalam dirinya yang hilang. And the puzzle is Bima, not Bama! "Don't go, please!"

Ya, Bima merasakan kesedihan itu sebelum dirinya benar-benar pergi. Ia salah, perna mengira bahwa saat dirinya pergi tidak ada orang yang menangis. Justru hal itu sangat berbalik dengan situasi sekarang ini. Luna, siapa dia? Gadis itu menangis di sampingnya dengan perasaan duka yang mendalam. Dan Ray, laki-laki yang pernah membercandai dirinya bahwa akan tertawa keras jika dirinya mati, sekarang malah menguraikan air matanya dengan begitu deras. Tidak ada duka yang dapat ditahan atas nama kepergian.

"I love you," bisik Luna tepat di telinga Bima. Ia belum sempat menceritakan semua proses relung hatinya ketika jatuh lalu mencintai Bima dalam sekejap. Ia merunduk. Memeluk Bima dan mengecup wajahnya dengan begitu lama. Luna sadar siapa dirinya di hidup Bima. Ia hanyalah imigran asing yang ingin singgah dalam sanubari jenaka milik Bima. "There are still many things that I have not told you about this heart. Then why are you leaving so fast?" Air matanya berlinang mengenai wajah Bima. I hope you wake up now," harap Luna pada ketidakmungkinan.

"Enough." Ray merangkulnya erat. Ia harus merelakan Bima terutama pada canda dan tawa yang sempat terukir di dalam ingatannya. Sungguh, kenangan itu tidak akan pernah bisa ia hilangkan dalam ingatan. Kenangan itu teramat berharga.

"Thanks buat semuanya, Bim. Rhythm in piece, Bro."

***

Air mata itu belum berhenti meluruh. Dalam diam Luna menatap pesona Bima yang begitu damai. Pelukan Ray pun semakin mendekapnya erat. Memberikannya kekuatan tatkala rasa yang tumbuh harus kembali patah karena Tuhan lebih menyayangi Bima.

Di sela waktu yang terjeda. Ia membiarkan dokter membawa Bima ke ruang operasi untuk mengambil jantungnya yang sudah Bima janjikan pada sosok cerminannya. Bama, sosok yang menjadi prioritas utama Bima untuk selalu bahagia.

"And, Mom. I'm coming. Big miss you, Mom." Luna dan Ray tertoleh ke arah lorong koridor. Suara itu terdengar merambat begitu saja ke sepasang telinganya. Tertampak bayangan itu, bayangan Bima yang berjalan untuk menggapai pelukan sang Mama.

Rasanya baru kemarin ia bertemu dengan Bima di tepi danau buatan. Rasanya baru kemarin pula ia bercanda dengan Bima soal hukuman dari Pak Haris. Rasanya .... Ah, debaran jantung itu terlampau keras menghentak-hentakkan nadinya. Ray menghela, Bima sudah damai. Semuanya sudah selesai. Saat memulai semuanya dari awal tanpa harus melupakan. Lagipula ia yakin bahwa Bima akan selalu ada di dekat orang-orang yang ia sayangi serta tidak pergi begitu saja apalagi jika tanpa sepatah kata.

For Bama,
I once promised you. About life is also about this heart. And most importantly, I have promised never to leave you under any circumstances. Therefore, I am in you. I live in your veins. And life with you. Forever.

Mungkin tidak ada jeda ketika duka
Mungkin tidak ada rehat dalam lara
Mungkin tidak ada rasa untuk cinta

TBC...

DANKE SCHÖNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang