DS 11 - Lari

4K 450 24
                                    

Bima, cowok yang paling mudah untuk melupakan segala sakitnya meski hanya sejenak. Cowok yang selalu berusaha bangkit meski tanpa penopang. Setelah kepergian cowok itu di hadapannya, Cindy tersenyum. Untuk di bagian ini ia cukup salut kepada makhluk dengan atas nama Abhimata Sadewa.

"Gue tau lo kuat, Bim. Gue juga akan selalu berdoa buat lo, karena gue cinta. Sama lo Bima. Tapi terkadang, gue masih belum mengerti sama perasaan gue ini. Lo cowok yang paling ngeselin. Tapi yang paling gue cari."

Cindy menghela napasnya yang bergetar. Sesak rasanya saat teringat jika Bima harus pergi. Yang ia inginkan tidak ada yang pergi meski ia tahu, kepergian atau perpisahan itu sudah pasti adanya. Sudah pasti akan datang dengan caranya yang saling bergilir.

Langkah Bima sudah hilang di belokan perempatan jalan menuju halte. Sebenarnya ia tidak pernah setuju dengan hobi Bima yang satu ini, karena Bima selalu saja meninggalkan Bama yang tengah menahan sakitnya sendirian dengan alasan ada job open trip, tour guide dan sebagainya.

Apa ini sebuah bentuk dari cara Bima melarikan diri? Cindy memang sangat paham, hidup bertahun-tahun di bawah kebencian memang begitu menyiksa keadaan. Lagi pula siapa yang bisa bertahan?

Kemudian ia ingat dengan luka yang ada pada jari-jari Bima. Sungguh hal itu bisa dikatakan baik-baik saja? Tidak. Bima tidak pernah baik-baik saja. Lalu kenapa ia baru sadar sekarang?

Padahal sejak dulu Bima lah yang paling membutuhkan perhatian setelah segalanya tercurahkan oleh Bama. Lantas tangannya bergerak lincah untuk memanggil Bima melalui saluran telepon di ponselnya.

"Bima!" panggilnya agak keras setelah nada tunggu tergantikan oleh suara ramai jalanan yang terdengar melalui saluran telepon.

"Kenapa?" sahut Bima agak kesal.

"Gue ikut!"

"Ikut ke mana?"

"Ke mana pun lo pergi. Gue ikut!"

"Maksudnya?"

"Gue ikut lo Bima!"

Tidak ada sahutan dari Bima. Cowok itu masih sibuk menangkap apa maksud dari Cindy mengatakan hal itu. Keputusan Cindy terlalu cepat baginya.

"Bim," cek Cindy tatkala Bima masih saja diam di seberang telepon sana.

"Males. Cewek cuma bisa ngerepotin doang."

"Bim---"

Tut!

Saluran telepon itu putus. Cindy tidak menyangka keputusannya Bima tolak mentah-mentah sekaligus memakinya. Ia mendengus sebal sebelum kembali melangkahkan kakinya menuju sekolah.

"Lo bener-bener ngeselin, Bima," dengusnya bersama kaki yang terus menendang-nendang kerikil-kerikil kecil.

Namun menit berikutnya ponselnya kembali berdering menampilkan satu pesan dari Bima.

Bima : Kalo lo ikut. Siapa yang mau jagain Bama?

Cindy menghela setelah membaca pesan singkat itu. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Bima mempercayakan kepadanya untuk menjaga Bama. Jari-jarinya kemudian bergerak lincah di atas layar ponselnya untuk membalas pesan singkat tersebut.

Cindy : Gue gak mau lo kenapa-kenapa. Karena kalo lo kenapa-kenapa, Bama juga akan kenapa-kenapa.

Setelah mengirimkan pesan singkat itu, Cindy memasukkan ponselnya ke dalam saku. Lantas benar-benar menghela napasnya dengan berat.

***

Menyesap susu hangatnya. Ia tahu malam semakin terasa larut. Namun entah mengapa matanya seperti semakin enggan terpejam. Stasiun Malioboro Yogyakarta terlihat semakin sunyi. Sungguh tubuhnya lelah setelah melakukan perjalanan panjang seharian hanya untuk menemui kawan sejalannya sebelum kembali meluncur ke pelataran padang pasir Jawa, gunung Bromo.

DANKE SCHÖNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang