Bima berhenti. Lalu menatap Luna dengan penuh tanya. "Apa yang terjadi?" tanyanya.
Luna diam dengan posisinya. Berpikir apa Bima tidak sadar sudah melakukan hal itu terhadapnya?
"Lun," panggil Bima dengan sorot mata menginginkan kejelasan. Namun Luna masih memilih diam dengan seribu bahasanya yang bungkam.
Rasa nyeri menjalar ke bagian lehernya. Lantas Bima merabanya. Ia meringis, begitu sakit untuk disentuh.
Luna bergerak dari posisinya. Netranya tidak lepas untuk menatap sisi lain dari Bima. Cowok itu lantas menegakkan tubuhnya yang pasti akan ambruk begitu tidak ada tembok di belakangnya sebagai pegangan. Tatapan Bima terlihat begitu kosong dan hampa.
Cowok di hadapannya masih diam dengan meremas rambutnya. Ia mendesah, seperti menahan rasa sakit yang membebani kepalanya.
"Bim." Luna memanggilnya. Tubuh Bima begitu terlihat lemah dengan wajahnya yang sudah pucat nyaris seperti mayat. Tatapan hampanya beralih pada pemilik mata yang sedang menatapnya iba. Ah, sungguh sesuatu di kepalnya benar-benar membuatnya tidak berdaya. "Lun," panggilnya lemah dan kembali menyentuh wajah Luna. Darah terlihat mengalir dari hidungnya, Bima merasakan sesuatu pecah di dalam kepalanya hingga membuatnya terjatuh dalam pelukan Luna.
Luna tidak kuat menopang tubuh Bima lantas membuatnya terduduk. "Bim," panggilnya berharap Bima masih mendengar. Namun cowok itu terdiam dengan matanya yang terpejam rapat. "Bima," panggil Luna masih berharap yang sama. Namun semuanya nihil. Bima tidak bergerak sama sekali.
***
Ruangan dengan nuansa putih serta beraroma obat-obatan seperti menyambut kehadirannya. Luna menghentikan langkahnya tepat di lorong rumah sakit dengan mata masih mengikuti brankar yang didorong menuju ruang ICU. Rai datang dengan berdiri di sebelahnya. "Apa yang terjadi sama Bima?" tanyanya tanpa menoleh pada Rai.
Hening untuk beberapa saat.
"Tempurung kepalanya retak karena kecelakaan. Dia mengalami trauma," jelas Rai.
Luna terlihat tidak puas. Entah sejak kapan ia ingin tahu segalanya tentang Bima. "Pasti ada yang lain," ujarnya menuntut.
"Iya," jawab Rai.
"Apa?" Luna mengernyit.
"Semua yang menjadi ilusi Bima di ruang khayalnya itu nyata," jelas Rai malah membuat Luna semakin menatapnya penuh tanya.
"Nggak banyak orang yang tau tentang perempuan yang belakangan ini sering Bima sebut, apalagi setelah peristiwa kecelakaan dua bulan yang lalu," jelas Rai lagi.
"Perempuan," ulang Luna. "Siapa?" tanyanya.
Rai diam sejenak untuk mengambil napas. "Ibunya," jawabnya kemudian. "Kedua orang tua Bima dan Bama itu kembar identik," tambahnya membongkar semuanya.
Luna masih tidak mengerti dengan penjelasan Rai.
"Tapi kedua orang tua Bima meninggal. Ayahnya meninggal akibat kecelakaan tepat di usia Bima yang baru menginjak tujuh bulan dan ibunya meninggal di kala Bima menginjak usia empat tahun karena depresi berat. Kemudian Bima diangkat oleh kedua orang tua Bama."
"Lo tau ini semua dari mana?"
"Buku diarynya." Rai diam membuat Luna juga seketika diam. "Bima sering kehilangan akalnya dan berujung menuliskan semua kisahnya di dalam buku itu. Buku yang selalu dia sembunyikan serapat mungkin. Buku yang membuatnya tidak akan rela jika ada orang lain yang menyentuhnya," jelas Rai kembali bersuara.
Luna terduduk di bangku panjang yang ada di lorong koridor rumah sakit.
"Satu lagi, pada usia empat tahun tepat satu minggu setelah penguburan jenazah ibunya. Bima mengalami kecelakaan yang nyaris membuat nyawanya melayang dan itu pula yang membuat ingatan Bima terkadang tidak stabil."
Hening. Sunyi. Senyap. Tiga puluh menit berlalu, derap langkah dokter menghampiri untuk menjelaskan keadaan Bima yang kritis dan hanya dapat ditopang dengan alat bantu. "Saat kecelakaan terjadi benturan di kepalanya cukup keras. Membuat tempurungnya menjadi retak hingga akhirnya pendarahan. Dan sekarang semuanya sudah terlambat, kami sudah semaksimal mungkin untuk membantu pasien agar bisa bertahan. Pendarahannya sudah berkerak dan berpotensi menjadi tumor ganas di otaknya."
Luna terlihat tidak percaya dengan penjelasan yang baginya terdengar hanya omong kosong. Ia melesat masuk ke dalam ruang ICU untuk menemui Bima yang terbaring dengan banyaknya alat penopang hidup yang menempel di tubuhnya.
Datanglah kepada Mama. Mama sungguh merindukanmu.
Bima dapat merasakan dirinya disentuh oleh seseorang yang ia yakini adalah Luna. Gadis itu, kenapa selalu ada saat dirinya seperti ini?
***
Sudah dua jam ia menunggu kedatangan Bima di kamarnya yang selalu remang dan tertata rapi. Bama baru sadar kalau adiknya itu ternyata penyuka kerapian ruang. Ia menyesal sudah menyakiti Bima karena lepas kendali emosinya.
"Bam," panggil Sarah dengan suara lembutnya. Pelan-pelan ia melangkah masuk ke dalam kamar Bima.
"Aku masih mau nunggu Bima, Bun," sahut Bama masih duduk di tempatnya kemudian merasakan kalau Sarah duduk di sampingnya.
"Bima pasti pulang. Mungkin sekarang dia masih main sama temen-temennya. Inget loh, kamu masih harus minum obat dengan teratur," bujuk Sarah dengan lembut.
Bama hanya diam dengan kepala menunduk. Diamnya membuat Sarah hanya bisa menghela napas dengan pasrah.
"Ya udah. Bunda tunggu di bawah," ujar Sarah sebelum pergi.
Sarah sudah berlalu. Di kamar ini hanya menyisakan Bama yang sedang bingung ingin mencari Bima kemana. Ia sudah berkali-kali menelpon Rai namun nomornya tidak aktif, menelpon Luna malah terbalaskan oleh nada sambung yang tak kunjung tersambung.
Lantas ia bangkit berjalan menghampiri jendela lebar yang tertutupi oleh tirai putih yang masih tembus pandang. Berdiri di sana dengan tangan memegang tepian jendela. Hatinya merasa sangat bersalah sekaligus gelisah. Apa yang Bima sembunyikan dari dirinya?
Kedua retinanya mengedar ke seluruh ruang. Hingga berhenti tepat di sebuah laci kecil di bawah meja. Bama mendekat. Langkahnya berhenti. Ia berjongkok di depan laci itu. Tangannya kemudian bergerak untuk menarik kenop laci yang ternyata terkunci. Bama menarik napasnya. Ia kembali bangkit untuk melacak segala isi tempat untuk dapat menemukan kunci laci itu.
Semuanya ia lacak. Dari laci ke laci yang tidak terkunci. Namun sayangnya tidak berhasil. Kunci itu tidak dapat ia temukan. Bima begitu tertutup. Ia terduduk dengan tubuh bersandar di dipan ranjang. Menatap ke arah jendela dengan hampa.
Bama meraih ponselnya untuk kembali menghubungi Rai. Meskipun ia tahu tidak akan ada hasil. Untuk beberapa saat ia menunggu sebuah nada yang paling diharapkannya. Namun setelah beberapa saat, hasilnya masih tetap sama. Tidak ada jawaban dari Rai. Apa ia harus percaya pada ucapan Sarah bahwa Bima masih asyik bermain dengan teman-temannya? Bagaimana mungkin ia dapat percaya itu saat netranya dengan jelas melihat Bima terjatuh dengan lemah.
"Nggak." Ia menggeleng keras. Berusaha menepiskan segala pikiran buruk tentang Bima. "Nggak mungkin," gumamnya lagi. "Nggak mungkin. Lo nggak boleh pergi, Bim," ujar Bama segera bangkit dan melesat pergi untuk mencari tahu dimana Bima sebenarnya.
Sungguh, ia berjanji jika tidak menemukan Bima secepatnya. Ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri.
TBC...
KAMU SEDANG MEMBACA
DANKE SCHÖN
Teen Fiction(HARAP FOLLOW PENULISNYA TERLEBIH DAHULU) [TWINS STORY & SAD STORY] ~English Version ready on iStory~ PERHATIAN! Cerita ini dapat menyebabkan mata bengkak, pipi merah serta hidung tersumbat. Oleh karena itu, siapkan sekotak tisu terlebih dahulu sebe...