DS 21 - Sendu

4.3K 351 91
                                    

Lamunannya seketika buyar saat Luna datang dan menyapanya. "Good morning," sapa Luna yang kini berada di depan Bama. Cowok itu mengangkat wajahnya.

"Ngelamun aja," tegur Luna kemudian.

Bama hanya tersenyum.

"Lagi ada banyak masalah ya?" tanya Luna.

"Nggak apa-apa," jawab Bama menyembunyikan sekelumit masalahnya yang begitu rumit.

Luna tersenyum. "Ini buat kamu. Pancake durian," ujarnya memberikan sekotak pancake durian pada Bama.

Bama menatap sekotak kue itu.

"Aku sendiri yang buat," ujar Luna mengakui.

"Oh ya?" respon Bama tak percaya. Wajahnya terlihat takjub. Lagipula tak mungkin seorang Luna yang ia kenal sebagai penikmat dunia malam bisa seterampil ini untuk membuat kue.

"Jangan percaya. Dia mah lebih bisa ngoplos," sambar Bima mencomot pancake durian itu dari tangan Bama.

Luna mendengus sebal.

Tubuh Bama berputar nyaris sempurna. Lantas geleng-geleng kepala karena kelakuan adiknya itu. Bima nyengir lebar tanpa merasa bersalah lalu mengangkat kue itu sambil memuji, "Tumben nggak ada rasa cabenya."

Luna mendesis geram. Bima menoleh. Sekarang ia tahu satu hal yang menjadi alasan Luna untuk bisa memainkan tuts-tuts piano itu dengan begitu indah.

"Ya udah ya, gue mau perjuangin Cindy Cintaku," pamit Bima menepuk bahu Bama dan Luna.

Bima sudah berlalu, namun kedua netra Bama tidak lepas dari adiknya itu. Bagaimana jika Bima tahu jika Cindy mencintainya? Apa akan hancur? Bima tidak boleh hancur. Bima harus bahagia.

Pandangan Luna sempat mengikuti arah netra Bama. "Gue pernah liat Bima main piano," ujarnya tanpa menatap Bama dan menunduk.

Bama menoleh dengan wajah tidak mudah diartikan. Bima bermain piano? Iya kah? Tanpa banyak bicara ia bangkit untuk mengejar langkah Bima yang sudah menjauh dan hilang di balik tembok. Langkah Bima terlihat sedang menyusuri koridor yang akan menuju ke ruang kelasnya. Tidak! Bima malah melewati ruang kelasnya dan terus berjalan menuju deretan bangunan yang terdapat di sudut sekolah. Jika kembarannya itu sedang benar-benar mencari Cindy, tidak mungkin langkahnya akan kemari. Ia tahu bagaimana Cindy yang tidak begitu menyukai ruangan-ruangan yang terletak di sudut sekolah.

Kemudian Bama memelankan langkahnya saat melihat langkah Bima berhenti tepat di depan pintu ruang musik. Tak lama setelah membukanya, Bima menghilang di balik pintu yang tertutup rapat. Bama hafal dengan ruang musik yang akan gelap jika pintu itu ditutup dan hanya dimasuki sedikit cahaya dari luar.

Dadanya berdebar saat dentingan piano mulai terdengar mengalun dengan begitu indah. Ia tahu lagu ini, lagu yang diciptakan Mozart dengan penuh ketenangan. Lagu yang akan membuat siapa pun jatuh cinta karena alunan suaranya.

Symphony No. 40

Tidak mungkin. Bima tidak mungkin sepandai itu bermain musik. Apalagi melihat jari-jarinya yang lihai menari di atas tuts piano tanpa kesalahan sedikitpun, membuat lagu yang dibawakannya menjadi begitu sempurna. Bama terduduk, ia merunduk di depan pintu ruang musik. Dadanya terus berdebar hebat saat menyaksikan ketidakmungkinan di depan matanya. Ia merasakan jantungnya seperti menghentak-hentakkan nadinya dengan keras.

Lagu itu masih terus mengalun dengan temponya yang sesuai. Indah. Bama masih berada di depan pintu itu hingga lagu yang Bima bawakan selesai. Semuanya hening. Bima selesai membawakan lagu itu.

Bama memejamkan matanya. Detak jantungnya masih belum stabil. Kemudian samar-samar terdengar orang berdialog, ia tahu itu suara Bima dan suara .... Bama terdiam untuk mendengarkan semuanya.

DANKE SCHÖNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang