DS 07 - Luna

4K 364 12
                                    

Mungkin bisa dihitung dengan jari bagaimana Bima masuk ke sekolah tanpa harus telat yang kemudian berakhir dihukum oleh Pak Haris dengan lari-lari di tepi lapangan atau malah berjemur menikmati sinar matahari di tengah-tengah lapangan. Namun hari ini berbeda.

Laki-laki itu sudah standby bersama piano di ruang musik sejak jam setengah enam pagi. Bukan! Bukan dirinya yang hendak berlagu di pagi hari dengan dentingan piano yang mengalun indah.

Ketahuilah, Bima tidak sepandai itu dalam bermain musik. Justru anggapan seperti sampah itu lah yang Bima benarkan, selain membuat keonaran tidak ada lagi yang ia kuasai di bidang lain.

Mungkin saja di bidang olahraga cabang lari, karena harus kejar-kejaran dengan Pak Haris saat berusaha membolos atau mungkin di bidang bela diri, karena ia harus mahir memberikan pukulan pada Arya---Si Ketua Kelas itu.

Menghela napasnya perlahan. Ruangan sunyi akhirnya bersuara saat satu tuts piano ia tekan dan menimbulkan bunyi denting.

Ia hanya sedang berkenang, tentang Bama yang selalu memainkan jari-jarinya di atas tuts piano dengan begitu lihai dan lincahnya. Mengalunkan suara dengan melodinya yang begitu indah. Membuat siapapun terpukau dan tak segan mengeluarkan decakan penuh kekaguman serta memujinya.

"Cepet sembuh, Bam," lirihnya disusul dengan air mata yang kemudian jatuh.

Kembali diam hingga hanya ada hening yang tercipta. Ia mengangkat bibirnya saat bayangan dirinya dengan Bama terlihat sedang asyik sama-sama bersenandung riang dengan lagu yang tidak bisa dikatakan sempurna karena nada suara dari Bima yang menghancurkannya.

Hai Pagi,
Maaf, aku menyapamu sepagi ini. Aku tau aku lemah. Tapi mungkin itu tidak akan membuatku pasrah kemudian menyerah. Tapi juga entahlah. Aku begitu rapuh. Aku mudah jatuh.

~Danke Schön, 2 Agustus 2018.

Air mata itu, kembali menerobos dinding pertahanannya yang sudah ia bangun semalaman. Namun di paginya, seolah hancur tanpa sisa. Ia rapuh. Ia tidak sekuat yang mereka pikirkan. Ia mudah jatuh.

"Bima." Suara panggilan itu lantas membuatnya cepat-cepat menghapus air matanya. Bima tidak menoleh. Ia tahu siapa yang memergokinya sepagi ini.

"Lo ngapain di sini? Kayak yang bisa main musik aja," cibir Luna dengan langkahnya yang semakin mendekat.

Bima masih diam. Membuat Luna mengernyit heran. Namun tiba-tiba, suara denting piano yang ia tekan bersamaan dengan jari-jarinya berhasil mengagetkan gadis di belakangnya. Ia tertawa melihat kepala suku cabe-cabean sekolah terlihat begitu terkejut karena ulahnya.

"BIIIMAAA!!!!" Ya. Teriakan itu. Entahlah, rasanya seperti candu. Aneh memang.

"Kenapa sayang? Kaget ya?" sahut Bima sedikit menggoda.

"Sialan lo emang!" rutuk Luna tidak ketinggalan untuk melayangkan pukulan demi pukulan yang ia berikan di tubuh Bima hingga cowok itu mengerang kesakitan.

Tidak hanya tubuh yang menjadi sasaran empuk kepalan tangan kepala suku geng cabe-cabean. Rambutnya pun menjadi sasaran wajib untuk Luna jambak. Cowok itu benar-benar mengerang karenanya. Rambut Bima yang sudah tertata rapi pun berhasil kembali berantakan seperti hari-hari biasanya.

"Lun. Udah, Lun. Berhenti! Sakit peak! Sama calon suami gitu amat lo!" erang Bima berusaha menjauhkan Luna dari tubuhnya.

"Idih! Gue gak bakal sudi punya suami kayak lo!" Luna terus melancarkan aksinya untuk menyiksa Bima.

"Lagian cowok mana yang sudi sama cabe-cabean kayak lo?!" balas Bima memekik.

"Sembarangan lo kalo ngomong. Gini-gini juga gue bisa jadi Ibu yang baik buat anak-anak gue nanti!" pekik Luna tidak terima dengan terus melayangkan serangan demi serangan di tubuh Bima.

"Gue gak percaya! Cabe-cabean mah tetep aja cabe-cabean!" Tidak lama setelah berteriak memaki Luna kemudian Bima terjungkal. Miliknya yang paling berharga Luna tendang begitu saja tanpa rasa kasihan sedikitpun. Ngilu.

Lantas cewek itu berlalu meninggalkan Bima yang tersungkur di lantai.

"Awas aja lo, Lun!" ancam Bima namun tidak dihiraukan oleh Luna.

Sampai pukul tujuh pas, bel sekolah berbunyi dengan amat nyaring. Bima tertatih masuk ke dalam kelasnya. Orang-orang melihatnya dengan begitu aneh, karena Bima yang tidak henti-hentinya dan tanpa rasa malu memegangi harta berharganya yang selalu ia jaga. Namun pagi ini, ada orang yang berani menyentuhnya bahkan dengan teramat kasar.

Sesampainya di kelas, ia mendudukkan bokongnya dengan mencari posisi ternyaman. Kemudian menundukkan kepalanya seraya bertanya, "Wahai Dewa. Apa kau tidak terluka?"

"Lo kenapa, Bim?" Ray teman sebangkunya bertanya.

"Coba lo periksa. Sakit banget, anjir," keluh Bima menunjukkannya pada Ray.

Ray terlihat terkejut dengan membelalakkan matanya. Bukan karena Bima tanpa tahu malunya menunjukkan harta berharganya pada Ray, melainkan saat melihat lebam biru di sekitarnya. "Buset. Kenapa sih lo?"

"Si cabe-cabean. Nendang ini kayak nendang bola." Bima menunjuk ke arah Luna.

"Wah. Gak bisa dibiarin nih. Harus dibales," geram Ray tidak terima. Pandangannya kemudian terarah tajam pada Luna.

"Gak. Jangan. Nanti gue gak bisa nikmatin malem pertama sama dia. Kan lebih gawat," bela Bima pada akhirnya. Namun, Luna mendengus sebal. Ray menggeleng-gelengkan kepalanya.

Bu Hani kemudian datang setelah bunyi bel lima menit berlalu. Kedatangannya disambut meriah oleh para penghuni kelas XI IPA 3. Lantas memberikan bahan ajarannya tentang materi quantum Fisika pada murid-murid didiknya.

Menundukkan kepalanya dan tidak memperhatikan penjelasan dari Bu Hani. Rasa sakit itu masih membuatnya sedikit mendesah. Dari tempatnya Luna memperhatikan Bima, diam-diam hatinya menaruh rasa sesal sudah menyakiti laki-laki itu. Ia tahu betapa sakitnya dari tendangan bebas yang ia berikan pada harta berharga milik Bima. Pasti itu sangat menyakitkan.

Menyadari dengan dua muridnya yang tidak memperhatikan penjelasannya. Lantas Bu Hani memanggilnya bergantian, "Bima! Luna!"

Bima mendesah lalu mengangkat wajahnya. Bu Hani, guru manis namun sadis yang sudah siap bahkan selalu siap memberikan hukuman pada seluruh muridnya yang tidak memperhatikan pelajarannya.

Sedangkan Luna mendesis pelan dan membuang wajahnya ke arah Metta yang malah memberi isyarat bahwa Bu Hani terlihat semakin mengerikan.

"Kalian tidak memperhatikan penjelasan saya?" Horror. Bu Hani menatap Bima dan Luna bergantian.

"Maaf, Bu." Luna berujar. Sedangkan Bima memilih diam.

"Kalau tidak. Lebih baik keluar. Lari keliling lapangan sepuluh kali!" hukumnya tegas.

"Yah, Bu. Masa sepuluh," keluh Luna wajahnya terlihat memelas.

"Mau saya tambah?"

Luna menggeleng.

Hening. Menegang. Bima melirik Luna.

"Kalian tunggu apa lagi? Cepat!" gertak Bu Hani membuat Bima dan Luna lantas keluar dari kelas.

Bukan Bima jika ia tidak melancarkan kejahilan meski tertatih karena rasa sakit itu masih terasa di wilayah kekuasaannya. Diam-diam kakinya bergerak jahil menghalangi langkah Luna hingga cewek itu tersandung dan jatuh. Tawa pun riuh menertawai Luna yang tersungkur di lantai. Tatapannya menajam ke arah Bima seolah membentangkan bendera peperangan.

TBC...

DANKE SCHÖNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang