Rintik hujan perlahan reda dan hanya menyisakan embun sejuk di paginya. Seorang petugas menepuk-nepuk pundak Bima yang masih terlelap dengan posisinya menyandar di jendela kaca sampingnya dan kedua tangan melipat di depan dadanya. "Mas, bangun. Sudah sampai di Pasar Senen," ujarnya.
Perlahan Bima membuka kedua matanya. Berusaha mengumpulkan nyawanya yang berhambur memenuhi ruang mimpi secepat mungkin. Kemudian matanya melihat ke sekelilingnya. Sudah sepi dan hanya tinggal dirinya sendiri di dalam gerbong kereta. Ia menatap petugas tersebut yang masih ada di sampingnya. Lantas bangkit dan berpamitan.
Kaki Bima sudah menapaki peron kereta yang akan mengantarkannya keluar dari stasiun. Dadanya naik-turun tak karuan sejak ia mendengar kabar duka itu. Langkah kakinya semakin cepat tatkala irama jantungnya berdegup kencang. Ia menatap arloji yang melingkar di tangan kirinya yang jelas menunjukkan sudah pukul enam pagi.
Langkahnya terus mengayun dengan ransel besar yang senantiasa menempel di punggungnya. Di saku ransel sebelah kanannya pun jelas menampakkan bunga edelweis putih yang telah ia pesan dari penangkaran bunga langka di sekitaran Yogya. Bunga itu ia simpan dalam gelas kaca yang tertutup dan hanya ada lubang-lubang kecil. Bunga abadi untuk sebuah janji.
Ramainya kota sudah tak berarti apa-apa baginya. Semuanya seakan-akan sudah terasa mati dalam panca inderanya. Sampai langkahnya berhenti tepat di depan pintu kaca, di mana ruang intensif yang merawat keadaan Bama. Pintu kaca yang memperlihatkan keadaan Bama yang kini masih terbaring dengan degup iringan di jantungnya.
Di sampingnya ada Sarah dan Wira juga Eyang yang jelas sedang menemani Bama. Langkah kaki Bima seakan terpaku. Ia hanya termangu di depan pintu. Bima menghela saat dilihatnya Bama masih seperti kemarin. Lalu apa maksud dari kabar duka itu?
Tanpa sengaja sepasang mata itu bertemu dengan sepasang bola matanya. Bima hanya diam. Tanpa menunjukkan ekspresi apapun pada Sarah.
Sarah bangkit dan mulai beranjak. Namun Bima malah mengayunkan langkahnya untuk pergi dari tempat itu setelah melempar senyum pada Sarah.
"Kenapa Bun?" tanya Wira heran melihat tingkah Sarah.
Sarah tersadar. Ia segera menatap wajah Wira. Namun mulutnya kelu saat ia ingin menjelaskan apa yang baru saja terjadi. Bima datang, lalu tersenyum perih ke arahnya sebelum pergi. "Aku keluar dulu, Mas," ijin Sarah pada suaminya. "Aku tinggal dulu ya, Ma," lanjutnya pada Eyang.
Mereka berdua mengangguk. "Jangan lama-lama barangkali Bama cariin kamu," himbau Eyang disertai anggukan kepala Sarah.
Kemudian ia keluar dari ruangan tersebut. Berusaha mengikuti bekas jejak Bima yang sempat ia lihat. "Bima," panggilnya memastikan sosok yang ia lihat sedang duduk di bangku panjang dekat gudang penyimpanan nitrogen. Laki-laki itu sedang duduk dengan kedua tangan saling bertangkup untuk menopang dagunya.
Mendapati Sarah yang berdiri di tengah koridor Bima mengangkat wajahnya. Ada keluh kesah yang sebenarnya siap membeludak di benaknya. "Bunda." Bima bersuara kecil. Ia menggeser posisi duduknya agar Sarah duduk di sampingnya.
"Kamu kapan pulang?" tanya Sarah lembut lalu duduk di samping Bima.
"Barusan," jawab Bima. "Gimana Kak Bama, Bun?" tanyanya menahan gejolak perih di dalam dadanya saat harus menanyakan tentang Bama.
Sarah terdengar menarik napasnya. "Tuhan masih memberikan kesempatan untuk kita. Sehingga Bama bisa melewati semuanya," jelas Sarah.
Bima kembali memilih diam dengan mata mengarah ke lantai. Selain gejolak keluh kesahnya, ada hal lain yang ingin ia pertanyakan langsung pada Sarah. Namun apakah waktunya tepat untuk meminta semua jawaban atas segala pertanyaannya?
"Kamu sudah makan?" tanya Sarah.
Bukannya mendapat jawaban yang sesuai. Ia malah mendapatkan salah satu pertanyaan dari ribuan pertanyaan yang ada di benak anak bungsunya. "Bima gak tau lagi, apa yang harus Bima lakuin?" tanya Bima. Rasanya gak adil, Bun. Jika selalu saja berat sebelah saat membagi kasih. Batinnya.
"Sayang. Serahkan semuanya kepada Tuhan," ujar Sarah merangkul bahu Bima.
"Termasuk kebencian Ayah terhadapku, Bun?" celetuk Bima tanpa sadar. Pertanyaannya berhasil membuat hati Sarah bergetar. Ia menarik napasnya kemudian berujar, "Ayah gak pernah benci kamu, Sayang."
Aku cuma gak habis pikir. Apa seperti ini rasanya diasingkan oleh bagian dari napasku sendiri? Apa tidak ada cara lain Tuhan untuk menghukumku dengan cara-Nya yang lain? Bima menghela napasnya dengan panjang.
"Sarah." Panggilan itu membuat Sarah dan Bima mendongakkan kepalanya. Menatap wanita tua yang sedang berdiri di hadapannya. "Tunggu Bama," ujarnya lagi namun dengan manik mata yang mengarah pada Bima dengan amat menusuk.
Sarah ingin menolak. Namun ia ingat siapa sosok wanita tua di hadapannya yaitu seorang ibu yang harus ia hormati segala tutur katanya. "Bunda pergi dulu. Kamu jangan lupa sarapan," ujar Sarah mengusap puncak kepala Bima sebelum pergi.
Bima hanya mengangguk. Kepergian Sarah hanya menyisakan Eyang dan dirinya. Wanita tua itu menatapnya tajam. Mengedarkan pandangannya dari atas hingga bawah tubuh Bima. "Kadang saya merasa heran dengan kamu, apa gunanya kamu hidup?"
Mendengar ucapan yang begitu merendahkan dirinya. Bima bangkit dan menegakkan tubuhnya. Kedua netranya membalas tatapan wanita tua di hadapannya.
"Kamu tahu? Seharusnya kamu yang ada di sana, bukan cucuku, Bama. Lagipula kehadiranmu tidak pernah kami harapkan," lanjut wanita tua itu penuh penekanan di setiap kalimat yang diucapkannya. Lalu wanita tua itu berbalik dan pergi meninggalkan Bima.
Mata Bima kembali bertemu dengan sosok perempuan yang tengah berdiri di kejauhan. Menatapnya dengan tubuh berada di balik tembok. Sakit. Perih. Tercabik-cabik tanpa kata ampun. Dengan mata yang menyorot ke arah seorang gadis yang berada di balik tembok, akhirnya air matanya lolos melewati pelupuk matanya. Perasaannya kali ini sudah tidak dapat dibohongi. Tawanya selama ini yang selalu ia gunakan sebagai perisai pelindung dari luka-lukanya perlahan seolah runtuh dan hanya menyisakan puing-puing rapuh.
Apa ia harus pergi dari orang-orang yang terus menyakitinya? Jika iya harus pergi, lalu bagaimana dengan janjinya? Apa perlu ia ingkari agar bisa kembali menjadi sosok yang baik-baik saja tanpa harus berpura-pura?
Cindy muncul setelah Eyang Ratih berlalu dari hadapan Bima. Bersama langkahnya ia menghampiri Bima yang masih terdiam di tempatnya. "Bim. Lo gapapa?" tanya Cindy menatap wajah Bima yang terlihat kosong bahkan tatapan cowok di hadapannya nampak begitu hampa.
Bima masih diam. Tangan Cindy bergerak untuk menghapus air matanya. Namun cowok itu malah menghindar dan kemudian pergi tanpa sepatah kata yang keluar dari bibirnya.
Di tempatnya berdiri Cindy hanya bisa menatap kepergian Bima, selain itu ia pun hanya bisa berharap kalau Bima tidak benar-benar memutuskan untuk pergi. Walau bagaimanapun juga ia sangat menyayangi cowok itu, bahkan perasaannya kini berkata lain jika harus menganggap Bima hanya sebatas sahabatnya.
TBC...
KAMU SEDANG MEMBACA
DANKE SCHÖN
Teen Fiction(HARAP FOLLOW PENULISNYA TERLEBIH DAHULU) [TWINS STORY & SAD STORY] ~English Version ready on iStory~ PERHATIAN! Cerita ini dapat menyebabkan mata bengkak, pipi merah serta hidung tersumbat. Oleh karena itu, siapkan sekotak tisu terlebih dahulu sebe...