DS 04 - Air

4.7K 440 36
                                    

Sejak tadi yang Bima lakukan adalah loncat-loncat di atas pagar yang mengelilingi rumahnya. Jika sedang bosan begini, kelakuannya tak kalah lincahnya dengan monyet-monyet di hutan. Di kejauhan Mbok Mirna geleng-geleng kepala sendiri. Menyayangkan kelakuan anak majikannya satu ini yang terkadang kumat.

Ia duduk di atas tembok pagar depan rumahnya. Menikmati sepoi angin yang berhembus sejuk dan menguraikan rambutnya. Lembayung senja mulai muncul menuju tahtanya, seolah ikut menemaninya menunggu Bama pulang sekolah. Jari-jarinya bergerak memijat kepalanya, efek jambakan dari cengkeraman tangan Cindy tadi pagi benar-benar menambah rasa sakit di tubuhnya. Namun tak apalah, setidaknya cewek itu masih berkenan menyentuhnya. Anggap saja itu lah cara yang Cindy punya.

Baru saja terpikirkan, cewek itu datang bersama dengan Oma dan supir pribadinya yang selalu mengantar jemputnya ke sekolah sejak jaman TK. Mereka keluar dari mobil sedan jadul dan Oma Aryani sudah masuk lebih dulu ke dalam rumahnya, "Cindy Cintaku." Bima memanggilnya.

Boro-boro mendapat sahutan dari cewek yang namanya ia panggil, cewek itu malah mendengus sebal dengan mulut yang siap bersungut.

"Si Bama mana?" tanya Bima dari tempatnya duduk dan tidak mempedulikan kekesalan Cindy. Ia masih di atas pagar.

"Dia dijemput sama nyokap-bokap lo," sahut Cindy. Tidak ada nada damai di setiap kata-kata yang ia lontarkan dan sejak dulu memang seperti itu. Garis bawahi, itu hanya ketika ia menjawab ucapan Bima yang selalu berkata menyebalkan.

"Oh ya ya ya." Bima mengangguk. "Cindy Cintaku," panggil Bima lagi, membuat Cindy harus menghentikan langkahnya.

"Sekali lagi lo manggil gue gitu. Gue siram lo!" ancam Cindy mengerikan.

Air. Bima tahu, air sumber kehidupan dan pembawa kedamaian. Tapi tidak dengan tubuhnya yang selalu menolak, membuatnya hanya mandi jika hendak berangkat ke sekolah saja. "Yah. Ratu Kidul mulai ngamuk," ujarnya sontak menyulut kekesalan Cindy.

Dari dalam Oma Aryani geleng-geleng kepala. Sudah biasa beliau melihat pemandangan ini, bertahun-tahun lamanya selama beliau mengurus Cindy. Cucunya bisa dibilang tidak pernah akur dengan Bima, mereka hanya akur jika sedang diam terlentang di atas rerumputan dengan sepasang bola mata tertuju ke atas langit kejinggaan. Menatap matahari yang mulai kembali menuju peraduannya. Namun hal itu, kini sudah jarang sekali terjadi sebab antara Bima dan Cindy sudah memiliki kesibukannya masing-masing juga menemukan dunianya sendiri.

Selebihnya, mereka akan terus beradu mulut bahkan beradu fisik. Seperti peristiwa tadi pagi saat kekesalan Cindy kepada Bima sejak semalam ternyata belum juga usai. Untunglah, Bima masih mau mengalah. Mengingat sedikitpun cowok itu tidak pernah menorehkan luka di tubuh Cindy.

"BIMA!!!" Iya. Bima selalu kecanduan oleh amarah sahabatnya itu. Katanya, Cindy kalau marah mukanya merah dan bikin cewek itu tambah keliatan cantik.

"Kenapa cintaku?" sahut Bima tak habis rencana untuk jahil kepada Cindy.

Cewek itu berlalu, membuat Bima lantas menduga bahwa Cindy menyerah begitu saja atas perang yang ia sulut. Namun ternyata dugaannya salah, Cindy malah dengan semangatnya mengarahkan selang air yang sudah menyala ke arah Bima.

Bima yang terlanjur panik tidak bisa mengelak apa lagi menghindar. Posisinya berada di atas tembok pagar cukup menyulitkannya untuk menghindar.

"Cin, jangan Cin!" mohon Bima merasakan bahwa air seperti rudal yang menyerangnya.

"Gue tau. Dari kemarin lo belum mandi." Cindy tertawa puas penuh kemenangan.

"Cindy! Berhenti!" Bima bangkit dari duduknya. Ia tidak sadar bahwa tidak ada tembok yang dipijaknya selain angin yang seketika membawanya seperti melayang terbang.

Bertepatan dengan jatuhnya Bima, mobil hitam itu masuk ke dalam halaman rumahnya. Menikung dan nahas menyenggol lutut Bima hingga cowok itu tersungkur ke depan dengan luka lecet yang tidak terlalu parah.

Wira segera turun dari kursi kemudinya dan menghampiri Bima untuk memastikan bahwa anaknya baik-baik saja.

"Kamu gapapa?" Pertanyaan Wira menyeruak masuk ke dalam organ pendengarannya. Lantas Bima menggeleng, kembarannya datang dan membantunya bangkit.

Ia bangkit, namun lututnya tak cukup kuat untuk menopang tubuhnya hingga ia nyaris terjatuh lagi jika Bama tak sigap menahan tubuh adiknya. Entah rasanya seperti apa, yang pasti Bima merasakan kalau lututnya begitu sakit untuk ia gerakan. Dengan tertatih ia dibantu Bama untuk masuk ke dalam rumah.

"Bim. Bima. Lo gapapa kan?" seru Cindy berlari menghampiri Bima.

"Gapapa apanya? Kaki gue pengkor gini," ujar Bima jujur.

"Yah. Maaf. Lagian sih, lo nyebelin." Sedikit nada sesal terdengar dari ucapan Cindy.

Bima berdecih. "Udah lo, sana balik!" usirnya mengibaskan tangannya.

"Huh!" kesal Cindy menurut untuk berlalu.

Bima didudukkan di sofa ruang tamu. Sarah datang dengan minyak urut di tangannya. "Bam. Kamu ambilin baju buat Bima ya?" pintanya pada Bama dengan nada yang terdengar begitu lembut.

Bama mengangguk. Ia melesat memenuhi ucapan Sarah yang diperintahkan untuknya.

Sedangkan Bima, jantungnya sempat tertegun mendengar penuturan Sarah kepada anak sulungnya. Baru kali ini ia mendengar ucapan Bundanya selembut ini.

"Lurus kan kaki kamu. Biar Bunda urut," ujar Sarah lagi.

Bima menurut. Kakinya berpangku di atas pukang Bundanya.

"Bunda sering bilang ke kamu. Jangan bertingkah yang aneh-aneh. Kenapa gak pernah dengerin Bunda sih?"

Sering? Pikir Bima untuk sesaat. Tapi detik berikutnya ia tersadarkan oleh Bama yang datang memberikan baju ganti untuknya. Lantas ia melepas bajunya untuk diganti dengan baju yang kering.

"Kamu ganti seragam ya, abis itu makan. Si Mbok udah nyiapin makanan," titah Sarah pada Bama. Tangannya terus bergerak mengurut lutut Bima yang ia rasakan seperti ada tulang yang sedikit bengkok akibat benturan tadi.

Sebenarnya mati-matian Bima menahan rasa sakit di lututnya saat diurut Bundanya. Ia ingin merengek, merajuk hingga berujung dimanja. Namun ia tidak akan melakukan hal itu. Ia harus menikmati sentuhan tangan Bundanya yang terbilang jarang sekali menyentuhnya. Wanita bidadari itu terlalu sibuk memantau keadaan Bama selama dua puluh empat jam tanpa henti.

"Sakit?"

Bima menganggukkan kepalanya singkat. Sekilas ia menatap manik mata sang Bunda sebelum akhirnya memalingkan wajahnya ke arah lain.

"Ini udah ketiga kalinya kamu dapat skorsing. Jika kamu masih melanggar peraturan sekolah lagi dan berujung dikeluarkan dari sekolah. Maaf, Ayah gak akan urus sekolah kamu." Wira datang dan langsung duduk di kursi utama. Pria paruh baya itu menyandarkan tubuhnya yang terlihat sedang lelah.

"Ayah bosan dengan kelakuan kamu yang gak henti-hentinya bikin ulah," lanjut Wira. Ia menatap Bima yang menunduk dan memilih bungkam. "Kenapa sih, kamu gak seperti Bama yang penurut dan selalu bikin Ayah bangga dengan prestasi-prestasinya? Kamu gak bisa seperti itu?"

Itu bukan pertanyaan, melainkan senjata untuk mencabik lagi sanubarinya yang selalu merintih perih. Ia mengangkat wajahnya dan menatap ke arah Bundanya. Kedua retinanya seperti menyiratkan bahwa ia tidak senang jika harus dibanding-bandingkan dengan Bama.

Apa perhatian Ayah? Sedangkan Ayah selalu menyibukkan diri dengan alasan pekerjaan. Hanya di dalam hati ia mampu bertanya.

TBC...

DANKE SCHÖNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang