Tubuhnya seakan terhempas. Namun tak lama ia merasakan kehangatan dari sebuah pelukan. "Apa yang lo lakuin?" Suara tanya itu membuatnya kemudian mendongak. Tatapan mata itu, tatapan yang selalu ia rindukan.
Bima menggeleng. "Pusing," jawab sekenanya. Ia segera bangkit dengan tangan masih meremas-remas rambutnya. Berlalu dengan meninggalkan sosok yang sama persis seperti dirinya di tempat.
"Lo nggak seneng gue balik?" seru Bama kecewa.
"Gue mau mandi," sahut Bima tetap berlalu dan kemudian menyambar sehelai handuk yang menggantung di belakang pintu.
Bama berdecak pasrah. Sudah tidak seistimewa ini kah ia di hadapan saudara kembarnya sendiri? Ia bangkit dan berjalan menuju pintu kamar mandi yang sudah tertutup rapat.
Tok. Tok. Tok.
"Bim," panggilnya.
"Iya," sahut Bima dari dalam.
"Jangan lama-lama," seru Bama lagi.
"Iya," sahut Bima dengan jawaban yang sama.
"Gue kangen," seru Bama masih berdiri di depan pintu kamar mandi.
"Iya." Sahutan Bima yang begitu membuat Bama lantas menghela napasnya.
"Gue ke bawah," pamit Bama pada akhirnya.
"Iya," sahut Bima tetap sama.
Bama melangkahkan kakinya menjauh dari pintu kamar mandi. Menuruni tangga dan berbelok masuk ke dalam ruang baca. Ia ingin kesunyian. Sesunyi deretan buku-buku yang mulai usang ini. Ia duduk, menghadapi meja besar dengan bola dunia yang bertengger indah di atasnya. Selain itu ada buku tebal yang dibiarkan tersimpan di tengah meja itu.
Bama bersandar. Kedua matanya mengedar ke seluruh ruangan ini. Aroma buku tua pun seakan membiusnya untuk tetap merasa nyaman di tempat ini. Tangannya terangkat, bergerak untuk memutar globe di hadapannya. "Udah berapa tempat yang lo lalui, Bim?" tanyanya pada ruang kosong.
Bama menghentikan tangannya lalu menempatkan jarinya pada letak satu negara yang kini menjadi daya tarik retinanya. Jerman. Ia akan datang beberapa bulan lagi, tepat setelah ujian sekolah penentu kenaikan kelas. Menghela berat, ada resiko berat yang harus ditanggungnya kelak. "Gue nggak yakin buat ngelakuin ini," ujarnya. "Tapi demi lo, gue harus kuat," lanjutnya sambil menatap globe yang dipegangnya, seakan di hadapannya itu Bima.
"Abhimata Sadewa," gumamnya penuh kerinduan. "Jangan menghilang dari dunia ini. Karena masih ada janji yang harus lo bayar."
***
Bima mengerang saat Bama menarik kakinya hingga nyaris terjatuh dari ranjang. "Kenapa sih?" serunya kesal.
"Ngimpi apa sih lo? Nyenyak banget," gerutu Bama sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
"Di penjara, gue lima hari nggak bisa tidur," curah Bima.
"Lah?" Bama malah memasang wajah kebingungan.
"Gue nabrak jodoh orang," jelas Bima masih dengan matanya yang terpejam.
"Apa?!" pekik Bama seketika dengan terkejut. Pikiran-pikiran buruk mulai menghinggapi otaknya. "Lo---" Ucapannya berhenti saat Bima membungkam mulutnya dengan tangan.
"Gue nggak seberengsek itu," tegasnya.
Bama hanya bisa nyengir sambil menunjukkan deretan giginya. Dengan itu, dugaan buruknya segera hilang. "Bim," panggilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DANKE SCHÖN
Teen Fiction(HARAP FOLLOW PENULISNYA TERLEBIH DAHULU) [TWINS STORY & SAD STORY] ~English Version ready on iStory~ PERHATIAN! Cerita ini dapat menyebabkan mata bengkak, pipi merah serta hidung tersumbat. Oleh karena itu, siapkan sekotak tisu terlebih dahulu sebe...