Sebuah tempat yang tidak asing baginya membuat Bima terbangun. Berupa ruang yang begitu luas dengan cahaya yang sedikit remang. Hanya ada sedikit cahaya yang masuk melalui celah gorden yang berkibar diterpa angin sejuk. Sentuhan hangat kemudian meraba kepalanya, mengusapnya dengan penuh rasa kasih dan sayang.
"Mama?" Bima mengernyit. Tatkala wanita itu tersenyum hangat padanya lalu membawanya ke dalam rangkulan yang begitu Bima rindukan.
"Mama rindu kamu, sayang," ucapnya sambil terus merangkul Bima. "Ikut dengan Mama ya?"
Bima bergeming. Pelukan yang begitu hangat menyentuh sanubarinya. Lalu ia mengangguk kecil.
Tangannya digenggam. Bima pernah merasakan hal ini. Namun semua itu terasa semu.
Bunyi bip panjang mengisi seluruh ruangan. Memecahkan keheningan yang dibalut rasa cemas. Luna terlonjak dari duduknya dan segera menghampiri Bima. Tidak mungkin. Garis panjang yang terus berjalan bersamaan dengan bunyi bip panjang membuatnya tidak percaya. Bima, jangan pergi!
Secepat mungkin Luna berkejaran dengan waktu untuk memanggil dokter jaga. Harus ia akui, Bima lah yang memberikan warna dalam hidupnya yang terlalu abu-abu.
"Tuhan, tolong jangan membiarkan Bima lemah. Bantu dia, Tuhan. Kumohon." Luna tidak dapat berbohong mengenai debaran jantungnya saat ini yang entah mengapa begitu takut jika Bima benar-benar pergi.
Namun sayang, saat dokter berusaha menolongnya. Defibrillator itu tidak berfungsi apa-apa di tubuh Bima. Tubuhnya tetap terbaring dan perlahan akan menjadi kaku. Perlahan Luna mendekati Bima yang sedang dilepas seluruh alat penopang hidupnya. Tidak mungkin. Wajah pucat itu sudah menunjukkan ketenangannya di sisi Tuhan.
Dalam suara yang membisu Luna meluruhkan seluruh air matanya. Baginya, ini terlalu cepat. Perasaannya baru saja tumbuh kemarin sore. Kenapa dini hari ia malah harus merasakan kehilangan yang mendalam? Apa Tuhan sudah mencukupkan luka-luka yang Bima rasakan sendiri? Apa Tuhan begitu sayang pada Bima hingga secepat ini Ia menyuruhnya untuk pulang?
Dan dirabanya tubuh dingin itu. Wajahnya, Luna tidak akan pernah lupa pada tawa jenaka yang selalu terpatri dengan sempurna. Sudah cukup, mungkin ini adalah salam perpisahan baginya dengan Bima.
"Selamat tinggal." Luna memejamkan matanya lalu mengecup bibir pucat itu dan menghisapnya dengan hangat. "Semoga lo tenang di sana," ucapnya kembali menegakkan tubuhnya.
Kain putih sudah siap menyelubungi seluruh anggota tubuh Bima. Baiklah Luna, biarkan Bima tenang. Perlahan, Luna meninggalkan tempat itu. Tempat yang ia anggap sebagai ruang semu. Saat sore hari perasaannya tumbuh bersamaan dengan tenggelamnya senja, namun di pagi hari ketika fajar mulai menyingsing bertepatan dengan itu, perasaannya pun harus luruh.
Langkahnya semakin menjauh. Meninggalkan Bima yang sudah terbaring dengan tenang. Namun seketika langkahnya terhenti, ia baru saja teringat dimana Ray sekarang? Apa cowok itu tidak tahu dengan kabar Bima saat ini?
Dengan cepat Luna membalikkan tubuhnya dan berlari menuju ruang rawat inap di mana Bima terbaring. Langkah kakinya dengan cepat terus melesat. Sampai tidak sadar dirinya membuka pintu kamar inap tersebut tanpa permisi dan malah menampakkan beberapa orang yang menoleh ke arahnya dengan penuh tanda tanya. Waktu seakan berputar dengan cepat. Semuanya pun seolah tidak pernah terjadi.
Di mana Bima yang hampir satu minggu ini terbaring lemah di atas brankar? Lalu di mana Ray yang sejak semalaman menghilang dari indera penglihatannya? Luna melangkah mundur sampai dirinya menabrak dinding di belakangnya. Retinanya mengedar cepat, semuanya seakan berubah meski tempat yang dipijaknya tetap sama. Apa yang terjadi? Sungguh Luna tidak mengerti ini semua. Bima yang meninggal, lalu ia pergi dan saat kembali semuanya berubah. Apa ini sihir? Tidak mungkin! Ia hidup di dunia nyata.
Keringat dingin bercucuran membasahi pelipisnya. Luna tidak tahan dengan ini semua. Rasanya ia ingin mengakhiri semuanya.
"Lo ngapain di sini, Lun?" Apa ini mimpi? Bima baru saja meninggal dan suaranya malah merambat masuk ke dalam gendang telinganya.
"Bima," gumam Luna mencoba untuk tetap bertahan menatap Bima yang terlihat begitu jelas berdiri di hadapannya dan lengkap dengan pakaian sekolahnya. "Apa ini mimpi?" lirihnya berusaha menyentuh Bima yang terlihat baik-baik saja.
Tidak ada sahutan dari Bima tatkala semuanya seperti kembali seperti semula. Luna terjaga. Bersama keringat yang terus bercucuran membasahi tubuh, matanya mengedar ke seluruh ruang. Semuanya masih seperti saat kemarin sore. Ia kemudian menoleh ke arah samping dan Ray masih terlihat sedang terlelap dengan posisinya. Lalu matanya tertuju pada Bima, laki-laki itu masih ada dengan segala macam alat penopang hidupnya. Mimpi macam apa ini? Apa dirinya terlalu takut jika Tuhan memanggil Bima secepat ini?
Tubuhnya beringsut bangkit lalu menghampiri Bima. Tangan Luna bergerak untuk menyentuh wajah Bima dan tangannya. Hangat. Tidak sedingin yang ia sentuh kala tadi bermimpi.
Matanya kembali melirik Ray yang bergerak merubah posisi tidurnya. Namun akhirnya cowok itu malah membuka matanya dan memilih duduk. Sepasang retinanya kembali mengedar ke arah luar jendela yang menunjukkan kalau hari sudah pagi. "Ray," panggilnya pada Ray. Dan cowok itu menyahutnya dengan singkat, "Ya."
"Semuanya baik-baik aja, kan?" tanya Luna membuat Ray lantas mengernyit dalam.
"Maksud lo?" tanya Ray tidak mengerti.
Luna malah mengedikkan bahunya. Ia pun tidak mengerti harus berkata apa pada Ray mengenai mimpinya tadi yang tidak jauh berbeda dengan dunia nyata.
"Gue sayang sama Bima," ungkap Luna pada akhirnya membuat Ray sulit bernapas dalam beberapa detik.
"Sayang," ulang Ray tidak percaya tapi malah diangguki oleh Luna. Ray melirik Bima yang masih lemah di atas brankar. "Emang dia mau sama cabe-cabean kayak lo?" balas Ray.
Dengan gemas Luna mendengus. "Perasaan gue nggak perlu Bima bales," ujarnya membuat Ray memilih untuk diam. "Mungkin setelah ini, gue harus siap merasakan kehilangan," lanjut Luna lagi.
Ray menarik napasnya lalu menghela panjang. "Sejak kapan lo sayang sama Bima?" tanyanya menyelidik.
Bahu Luna kembali mengedik. "Entah. Gue pun nggak pernah sadar sama perasaan ini."
Hening. Ray memilih untuk membisu. Namun di matanya pun menilai bahwa Luna tidak seburuk yang orang lain kira. Cewek di sebelahnya ini begitu baik. Mungkin Ray bisa saja menilai setiap orang itu baik, tapi Luna berbeda. Cewek ini tulus tanpa embel-embel modus.
"Bima punya satu rahasia," celetuk Ray tiba-tiba dan berhasil membuat Luna menatapnya dengan penuh rasa penasaran. Luna tidak bertanya apa rahasia itu, tapi ia membiarkan Ray menjelaskan semuanya.
"Gue juga nggak tau rahasia dia apa, karena kan rahasia." Ray terkekeh. Ia berhasil mengerjai Luna. Setidaknya lewat rautnya tadi, ia bisa tahu bagaimana perasaan Luna pada Bima. Dan benar saja, cewek di sampingnya ini memiliki hati yang tulus.
Luna mendengus sebal. Ia tidak lagi menghiraukan perkataan Ray dan pikiran malah kembali disibukkan oleh semua hal tentang Bima. Bahkan ia berharap, di ruangan ini, semoga bisa menjadi saksi bahwa rasa itu tumbuh di sanubarinya. Hati Luna mulai berpaling dari Bama.
TBC...
KAMU SEDANG MEMBACA
DANKE SCHÖN
Teen Fiction(HARAP FOLLOW PENULISNYA TERLEBIH DAHULU) [TWINS STORY & SAD STORY] ~English Version ready on iStory~ PERHATIAN! Cerita ini dapat menyebabkan mata bengkak, pipi merah serta hidung tersumbat. Oleh karena itu, siapkan sekotak tisu terlebih dahulu sebe...