DS 25 - Denting

3.6K 332 128
                                    

G Minor Bach by Lou Ni.


Jemari Luna bergerak lincah di atas tuts piano. Ia terlalu bodoh untuk menggambarkan kepedihan yang saat ini sedang menyayat hatinya. Tempo yang begitu cepat dari nada-nada yang ia timbulkan berhasil membuat hatinya semakin membiru karena pilu. Orang yang ia cintai sudah tenang di sisi Tuhan. Mungkin pula sudah melepas rasa rindunya pada sosok yang sering disebutnya, Mama.

Rasanya begitu sembilu tatkala dirinya tahu siapa Bima yang sebenarnya di keluarga Wira dan Sarah. Bima tidak lain hanya seorang anak kesepian yang diangkat menjadi anak mereka berdua pasca kedua orang tuanya meninggal. Bima tidak lain pula hanya seorang anak lelaki penuh kepalsuan atas tawanya yang keras dan semua itu ia tunjukkan untuk menutupi rasa perih di dalam hatinya. Bima ... asal laki-laki itu tahu, gadis yang sekarang ini tengah memainkan pianonya, terlihat begitu rindu pada sosok yang selalu tertawa ceria.

"Bravo!" Seruan itu seketika membuat denting pianonya berhenti. Luna bergeming di tempatnya. Ia merasa ada langkah kaki yang menghampirinya dan semakin dekat.

"Pantat lo udah agak kecilan, Lun. Udah jarang ke club buat dugem, ya." Sosok itu kembali bersuara dengan ucapannya yang terdengar begitu menyebalkan. Namun ia mengenali suara itu, akan tetapi mana mungkin jika Bima kembali? Apalagi dua jam yang lalu ia tidak tertinggal sedetik pun untuk ikut dalam upacara penguburan jenazah Bima. Sekalipun Bama, tidak mungkin. Ia tahu Bama masih lemah dengan keadaannya di rumah sakit pasca semalam menerima transplantasi jantungnya milik Bima.

Luna tahu, laki-laki itu pasti sedang berdiri di belakang tubuhnya.

"Geser dikit, napa sih, Lun. Gue juga mau main." Apa ini hanya ilusinya tatkala suara itu kembali menyentuh gendang telinganya? Luna menurut, ia menggeser posisinya untuk memberi tempat pada makhluk itu. Sampai dirinya dapat merasakan sosok Bima sudah duduk di sampingnya. Dengan segenap keberaniannya, Luna memutuskan untuk menoleh dan membalas tatapan itu. Tatapan mata yang sekarang tertuju ke arahnya tanpa mempedulikan dirinya yang setengah mati sedang menahan rasa takut.

Tubuhnya nyaris terjungkal saat melihat senyuman milik Bima mengembang ke arahnya dengan tuntas.

"Kenapa, sih? Kayak baru liat cowok ganteng aja," omelnya menangkap tubuh Luna berhasil membuat gadis itu merasakan sesuatu yang nyata yang sukses menyerobot ke dalam ruang ilusinya.

"Bima." Luna bersuara memanggil Bima untuk memastikan bahwa laki-laki yang tengah memegangnya untuk tidak terjatuh itu nyata.

"Ya." Bima menyahutinya dengan singkat membuat Luna nyaris terlonjak dari duduknya.

"Lo bukannya—" Luna tidak dapat melanjutkan ucapannya saat Bima mengangkat sebelah alisnya.

"Udah mati?" Bima melanjutkan lalu diangguki oleh lawan bicaranya di depan. Bima mengedikkan bahunya. "Gue juga heran. Gue udah mati kok masih keluyuran," ujarnya membuat wajah Luna berubah gemas.

"Bim. Gue serius!" pekik Luna mencubit pinggang Bima dan laki-laki itu berhasil mengaduh kemudian terkekeh.

"Mau diseriusin?" ucap Bima membuat Luna semakin kesal.

"Tau ah!" ketus Luna menatap Bima dengan malas.

Bima menghela sejenak. "Jangan takut gue pergi. Karena gue akan selalu ada di samping lo, Lun. Cuma ya, kita beda tempat aja."

Seketika Luna menatap Bima dengan lekat. "Maksudnya?"

"Lo masih di dunia. Sedangkan gue, di alam yang sunyi. Di alam yang nggak pernah gue bayangin sebelumnya," jelas Bima pandangannya menerawang jauh ke atas.

Luna semakin tidak mengerti dengan alur pembicaraan ini.

"Gue tau perasaan lo," lanjut Bima berujar.

"Iya. Gue cinta sama lo, Bim." Luna meraih wajah itu lalu membingkainya dengan hangat.

"I love you to," bisik Bima tepat di telinga Luna. Bibirnya bergerak untuk memberikan ciumannya yang terakhir pada Luna. Kedua matanya terpejam.

Bersamaan dengan itu. Tuts piano yang ditekannya berbunyi menghasilkan satu nada kemudian disusul oleh nada-nada lainnya. Bima lantas menciptakan jarak untuk menghadapkan tubuhnya ke arah piano. "Lo tau lagu ini?" tanya Bima jemarinya menari-nari di atas tuts piano dengan begitu indah.

Luna menganggukkan kepalanya. Ia hafal dengan lagu yang Bima bawakan. "Serenade no.13 for strings in G major," jawabnya lantas diangguki Bima.

"Yes. Eine Kleine Nachtmusic." Bima mengambil jeda untuk sekedar mengatakan, "Ayah benci lagu ini."

Dahi Luna mengernyit dalam. "Kenapa?"

"Lagu ini yang terakhir Ayah denger sebelum Papa meninggal karena insiden mengerikan itu. Jadi Ayah punya trauma di lagu ini. Padahal lagu ini menggambarkan ketenangan dan menjadi salah satu lagu kesukaan Papa," jelas Bima tanpa mengalihkan perhatiannya pada piano di hadapannya secuil pun.

"Dan ini pula yang bikin Ayah lo benci?" tanya Luna hati-hati.

"Ayah nggak pernah benci. Ayah cuma butuh waktu buat ngelupain tragedi itu. Tapi sampe sekarang, semuanya seakan nggak pernah bisa hilang. Ayah kehilangan saudara kembarnya yang berarti Papa gue dan Bunda pun merasakan hal yang sama. Kehilangan saudara kembarnya yang berarti Mama gue. Meski waktunya nggak bersamaan."

Akhirnya terungkap. Apa ini mimpi? Apa Bima yang kini ada di hadapannya itu hanya mimpi? Sekarang ia paham mengapa Bima dan Bama sampai semirip ini. Luna tertawa masam. "Dulu gue sering main lagu ini. Tapi sekarang jarang," curahnya kemudian. "Apalagi ketika semuanya berubah menjadi abu-abu tepat delapan tahun lalu waktu kedua orang tua gue bercerai," lanjutnya. Luna menyandarkan kepalanya di bahu Bima.

"Masih inget notnya?" tanya Bima berharap bisa saling menyempurnakan nada-nada yang keluar dari tuts piano yang ditekannya.

Luna mengangguk. Ia menegakkan tubuhnya lalu memulai semuanya. Semua nada yang sudah terangkai indah dan sempurna. Jari-jarinya bersamaan dengan Bima menari di atas tuts piano. Berhasil membuat ruangan sunyi itu dipenuhi oleh nada-nada.

Ada pilu yang semakin melesak ke dalam batinnya. Perlahan tubuh Bima menghilang selayaknya bayangan yang terpancarkan oleh cahaya. Luna menghentikan semuanya. Ia termangu saat tubuh itu semakin samar untuk ia tatap.

"Bima," panggilnya bersamaan dengan air mata yang luruh dari pelupuknya. Laki-laki itu menoleh. Menyentuh wajahnya dan mendekat. "I'm yours," bisik Bima tepat di telinganya. "Don't cry, please," ujarnya lagi. Jemarinya menghapus air mata gadis di depannya yang terus berjatuhan.

Dikecupnya bibir Luna sebelum semuanya benar-benar hilang dan meninggalkan gadisnya sendirian. Gadisnya? Bima menganggap bahwa Luna adalah gadisnya.

"Don't cry. I'm here for you."

Hilang. Sosok yang tengah dipeluknya kini tidak lagi meninggalkan apa-apa selain kata cinta yang sempat Bima utarakan. Luna terpuruk di lantai. Rasa sesak di dadanya kembali melesak tanpa memedulikan pemiliknya yang tengah kesakitan. Ia benar-benar kehilangan Bima usai mendengarkan cerita itu. Andai waktu dapat diputar, ia tidak ingin lagi seterlambat ini untuk mencintai Bima.

"Apa hanya karena ini lo dateng, Bim?" lirihnya di sela-sela rasa sakit yang menghujam isi sanubarinya.

TBC...

DANKE SCHÖNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang