Kegelisahan itu masih terus berlanjut. Padahal langkah kakinya ada di antara orang-orang dengan raut senang. Orang-orang yang sedang bergembira bersama tawanya. Menari-nari dengan wajahnya yang berseri-seri.
Bima mengembus pelan, kemudian duduk di bangku panjang yang tersedia di tepi jalan. Ia mendongakkan kepalanya ke atas, menatap temaram bintang yang cahayanya terkalahkan oleh kerlip lampu jalanan. Perasaan ingin pulang seperti mulai menggatoli nuraninya padahal projeknya belum selesai bahkan baru saja dimulai.
Seseorang menepuk pundaknya dari belakang. "Kalau perjalan ini hanya untuk pelarian. Lebih baik kamu pulang," ucap Mas Beno. "Perjalanan itu untuk pelajaran. Bukan untuk pelarian," lanjutnya lantas duduk di samping Bima dengan tangan kanannya memegang secangkir kopi.
Bima merunduk. Dadanya kembali menyesak. Air mata itu pun kembali jatuh. Andai jurang itu tidak pernah ada. Namun ia paham, dirinya memang begitu payah, tidak bisa diandalkan dan pantas menjadi sampah yang terbuang begitu saja tanpa makna. "Aku pantas nek dadi sampah," gumamnya.
"Ngomong opo tho lek?" tegur Mas Beno tidak suka dengan ucapan Bima.
"Bama sakit aku rak iso opo-opo tho, Mas," elak Bima bersama emosinya.
Mas Beno berdehem kecil. Lalu menyeruput kopinya dengan tenang. "Kamu sendiri yang bilang kalau Bama ndak sakit. Piye tho?"
Bima tersadar atas perkataannya. Selama ini ia berbohong. Bama memang sakit. Sangat sakit. Lemah. Tidak berdaya. Ia menghela kasar. Sejenak memejamkan matanya rapat-rapat. Payah!
***
Deg!
Bunyi bip panjang mengisi ruang hingga paling sudut. "Bama." Namun cowok itu masih dapat merasakan panggilan lemah dari seorang yang paling ia sayangi.
Dokter dengan sigap meletakkan defibrilator di atas dada Bama untuk mengeluarkan aliran listrik dalam waktu singkat dan mengembalikan detak jantungnya yang sempat berhenti.
Satu kali, Bama masih diam tanpa napas. Dua kali, tidak ada tanda-tanda pergerakan bagi Bama hingga membuat cemas. Dan untuk yang ketiga kalinya, kuat-kuat Sarah berdoa agar tidak kehilangan Bama dengan teramat cepat. Namun sang dokter menghela pasrah, tindakannya untuk menolong pasiennya gagal.
Kedua lutut Sarah melemas, tubuhnya ambruk di pelukan Wira. Mungkin sudah saatnya kehilangan itu datang. Cindy pun yang hanya bisa memperhatikannya di kejauhan hanya dapat terduduk lemas sembari membekap mulutnya agar tidak teriak bersama tangisnya. Air matanya meluruh deras seperti diperas habis-habisan. Bukan ini yang ia inginkan. Tapi ini kah rencana Tuhan? Lalu rencana selanjutnya yang sudah Tuhan siapkan apa? Sebuah kehilangan lagi kah atau sebuah kebahagiaan setelah merelakan segala kehilangan?
Secepat ini kah? Tangan Cindy bergerilya di atas layar keyboard ponselnya. Mengirim pesan suara kilat kepada Bima yang entah pergi kemana. "Bim. Lo harus pulang. Sekarang. Bama udah gak ada." Isaknya menyertai pesan suara itu. Cindy kemudian menyandarkan tubuhnya yang lemas dan untuk kesekian kalinya ia kehilangan orang yang sudah ia anggap sebagai keluarganya sendiri.
***
Bima menengok ponselnya yang berdering. Tatapannya ia alihkan dari secangkir wedang jahe yang sedang turut menghangatkan tubuhnya. Ia mengernyit saat melihat satu pesan suara yang masuk dan itu dari Cindy. Lantas tangannya segera menyumpalkan earphone bluetooth ke salah satu telinganya.
Dadanya terhentak hebat. Seolah-olah lebih dari ribuan bola kasti yang memantul ke dadanya dengan teramat keras. Kabar dari Cindy yang tersampaikan kepadanya sungguh membuat tulang-tulangnya melemas, otot-otot di tubuhnya pun seakan ikut terlepas.
Bima bangkit. Ia menepi dari keramaian teman-teman seperjalanannya yang sedang riuh berbincang ini-itu. Ia ingin sendiri. Langkahnya mengayun, mengantarnya ke suatu tempat tepat di bawah pohon rindang dengan jarak yang cukup jauh dari teman-temannya. "Lo bercanda, Cin?" gumamnya tak percaya dan terduduk lemas di sana. Tempat yang temaram. Remang.
Beberapa saat ia terdiam. Mematung. Sebelum akhirnya tawanya nyaris meledak dan berakhir dengan tangisan yang begitu memilukan. "Jangan pergi, Bam. Beri gue kesempatan. Tuhan, tolong." Namun tangisan itu semakin deras membasahi dua sisi wajahnya.
Melihat ada sesuatu yang tidak beres dengan Bima, Mas Beno bangkit dan berjalan menghampirinya. Seolah yang paling tahu perasaan Bima, lantas ia duduk di samping Bima yang masih tersedu menutupi wajahnya di antara lututnya yang terlipat.
"Pulang. Lebih baik daripada kamu terus di sini. Bukan maksud Mas ngusir kamu. Mas tau perasaan kamu," ucap Mas Beno sambil menepuk-nepuk pundak Bima.
Bima mulai mengatur emosinya dan menghapus air matanya. Lalu menggeleng kuat saat mendengar saran dari Mas Beno. Jelas ia menolaknya. Ia tahu bagaimana nanti jika ia pulang, apalagi saat membayangkan reaksi Wira yang jelas membencinya.
"Edelweis atau janjimu yang lain udah gak berarti apa-apa dengan kamu meninggalkan Bama di sana," ujar Mas Beno.
"Bama wis balik maring Gusti Allah," balas Bima datar. Namun terdengar jelas ada nada kehilangan yang terselip di antara ucapannya.
Mulut Mas Beno seketika bergerak. "Sabar. Kematian itu hal yang pasti. Kita cuma tinggal menunggu giliran." Kemudian menepuk-nepuk dan merangkul Bima.
Bima hanya mengangguk. Jika bisa berprotes pada waktu, ia ingin agar Bama tak secepat ini pergi.
Maaf rindu. Mungkin selamanya aku tak akan mengadu.
~Danke Schön, 2 Oktober 2019.
Ponselnya kembali berdering. Kali ini Sarah yang memanggilnya. Hal itu membuat Bima menimbang-nimbang antara mengangkatnya atau mengabaikan dering telepon itu.
"Kui biyungmu. Angkatlah," titah Mas Beno yang melihat ke arah layar ponsel Bima dan jelas menampakan panggilan seluler itu.
Menghela berat, Bima menuruti perintah Mas Beno. "Iya Bun," sahutnya datar. Suaranya sedatar papan tulis di sekolah.
"Bima? Sayang?" panggil Sarah. Terdengar bergetar menahan tangis.
"Iya Bun. Bima di sini. Ada apa?" sahut Bima yang juga kuat-kuat menahan diri agar air matanya tidak tumpah begitu saja.
"Pulang, sayang. Bunda tunggu," pinta Sarah di seberang dengan begitu halus.
"Iya Bun. Nanti Bima pulang. Tapi maaf, gak bisa sekarang," jawab Bima menolak halus.
"Iya. Bunda tunggu ya," ujar Sarah sebelum menutup panggilannya. "Kamu hati-hati di sana," bubuhnya.
"Iya Bun."
Tut!
Panggilan telepon berakhir. Bima menyandarkan tubuhnya di batang pohon. Kenapa baru sekarang Sarah bersikap halus dan lembut hanya untuk membujuknya pulang? Rasanya dunia tidak adil. Apa karena baru sekarang Sarah membutuhkan kehadirannya? Apa ia diciptakan hanya untuk menggantikan seorang Bama setelah ia pergi? Inikah hidup dengan segudang tidak keadilan? "Kenapa baru sekarang, Bun? Kenapa?" Tangisnya kembali meluruh. Meruntuhkan segala tembok pertahanannya.
Mas Beno yang masih duduk di samping Bima hanya dapat diam. Ia tidak bisa ikut campur dengan urusan batin antara anak dan kedua orangtuanya, kecuali hanya sekedar memberi saran. Itu pun jika di waktu yang tepat. "Ibumu udah nunggu. Lebih baik kamu pulang. Biar Mas antar," ujar Mas Beno pelan-pelan.
"Untuk apa pulang? Tho, kalo aku pulang Bama gak akan hidup lagi," pikir Bima frustasi.
"Seti---"
"Yogya-Jakarta jauh, Mas," potong Bima cepat dengan alasannya yang abstrak. Tidak masuk akal.
Menghela sabar. Mas Beno kembali berucap, "Apa kamu ndak mau lihat Bama untuk terakhir kalinya?"
Bima berhasil dibuatnya bungkam seribu bahasa. Tubuhnya kembali terpaku. Napasnya seolah berhenti begitu saja. Ia memegang dadanya yang jelas sedang berdebar hebat, seolah menunjukkan kelemahan di balik detak jantungnya.
TBC...
KAMU SEDANG MEMBACA
DANKE SCHÖN
Teen Fiction(HARAP FOLLOW PENULISNYA TERLEBIH DAHULU) [TWINS STORY & SAD STORY] ~English Version ready on iStory~ PERHATIAN! Cerita ini dapat menyebabkan mata bengkak, pipi merah serta hidung tersumbat. Oleh karena itu, siapkan sekotak tisu terlebih dahulu sebe...