DS 28 - Mahardhika

3.9K 305 38
                                    

Nada-nada itu mengalun indah seolah menyambut semua orang yang mendatangi pesta ulang tahun dua malaikat tampan yang kini sedang duduk di sebelahnya dan Wira memainkannya dengan senang hati. Jemarinya lemas menekan tuts piano dengan teratur sehingga enak didengar serta berhasil membuat decakan penuh rasa kagum dari para tamu undangannya.

"Aku mau bisa main piano seperti Ayah," seru seorang anak kecil berusia tiga tahun yang duduk di sebelahnya. Senyumnya mengembang tuntas sampai memperlihatkan deretan gigi mungilnya.

Sedangkan Wira, mendengarnya justru bahagia. "Bagus. Ayah dukung cita-cita kamu," ujarnya kemudian membawa Bama kecil ke pangkuannya.

"Aku ... a-aku juga," jawab Bima kecil ragu-ragu. Ia tidak terlalu yakin untuk menyukai dunia musik. Tapi pertunjukan piano Wira tidak terlalu buruk sehingga bisa menarik minatnya.

Wira tersenyum dan membawa Bima ke pangkuannya. "Ayah dukung cita-cita kalian. Semoga menjadi pianis hebat," ucapnya lalu mengecupi pipi Bama dan Bima dengan bergantian. Kemudian pandangannya mengedar dan melihat Dika tengah berjalan menghampirinya. Wira mengembangkan senyumannya untuk sang adik.

Dika mendesah lalu berjongkok di hadapan Bima. "Papa cari kamu ke mana-mana ternyata kamu ada di sini," ujarnya pada Bima. Bocah kecil itu lantas nyengir lebar.

"Papa bisa main piano?" tanyanya kemudian.

Dika melirik Wira yang ada di hadapannya. Dua manusia itu terlihat seperti orang yang tengah bercermin. "Bisa, dong. Papa malah lebih jago dari Om Wira," jawabnya dengan bangga.

Dengan gerakannya yang tiba-tiba, Bima lompat dari tempat duduk. "Kalo gitu ayo main sama aku!" serunya menarik lengan Dika.

Suara itu begitu nyaring memenuhi isi telinganya. Ia pun menghentikan jari-jarinya di atas tuts piano. Wira menghela napasnya dengan panjang dan berat, ia tidak bisa membayangkan betapa bodoh dirinya yang tidak mampu menolong saudara kembarnya sendiri dari peristiwa tragis itu.

Betapa masih tergambar jelas dalam ingatannya saat Dika dihantam oleh mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi. Iya. Tepat di malam itu. Malam yang tengah diselimuti oleh rasa hangatnya kebahagiaan. Namun harus berakhir begitu saja.

Tanpa disadarinya, Bama berdiri di undakan anak tangga terakhir. Matanya menatap lurus pada sang ayah yang perlahan kembali melanjutkan lagunya dengan pilu. Meski sebenarnya ia tidak pernah tahu histori pahit yang terkandung dalam lagu itu dan ini pertama kalinya ia kembali menyaksikan Wira bermain dengan deretan tuts pianonya setelah lima belas tahun lamanya hanya menyimpan piano di tengah ruangan.

Bama kenal dengan lagu itu. Lagu yang sedang mengalun indah seperti tengah menyambut paginya. Dengan perlahan ia kembali melangkahkan kakinya untuk mendekati sang ayah.

"Maafkan Ayah," gumam Wira masih belum menyadari kedatangan Bama di sampingnya.

Tangan Bama terulur, lagu tadi yang sedang Wira mainkan belum sepenuhnya selesai dan masih menyisakan satu deretan tangga nada. Jemarinya mulai bergerak menekan tuts piano itu dengan halus membuat nada yang keluar terdengar lembut.

Wira tertegun dengan kedatangan anaknya. "Kamu hapal lagu ini?" tanyanya menatap Bima.

"Iya. Bima yang ngajarin," jawab Bama dengan jujur. Namun malah membuat Wira mengernyit heran.

"Kapan?" tanya Wira dengan dahinya yang masih berlipat.

"Sekarang," jawab Bama lagi dan berhasil membuat sang ayah menatapnya penuh keheranan. "Bima ada di sini, Yah," lanjutnya meraih tangan Wira dan mengarahkan ke dadanya yang sedang berdebar hebat.

"Ayah nggak ngerti maksud kamu apa."

Bama mendesah panjang lalu ia duduk di sebelah ayahnya. "Seharusnya aku tau sejak dulu kalo keadaan Bima itu nggak sekuat yang kita lihat. Seharusnya aku sadar itu sejak dulu." Kepalanya menunduk menatap tuts piano di hadapannya.

"Aku pikir Bima takut hujan karena dia itu ombrophobia. Tapi ternyata lebih parah dari itu. Benturan keras di kepalanya saat kecelakaan dulu membuat Bima nggak lagi menganggap hujan itu hal yang menyenangkan dan justru sebaliknya. Hujan yang Bima rasain itu seperti butiran batu yang mengenai kepalanya."

Hening. Wira masih sulit menangkap maksud ucapan Bama.

"Selama ini Bima menahan sakitnya kerak di kepalanya. Supaya Ayah sama Bunda bisa lebih fokus dengan keadaanku." Bama menarik napasnya. "Sampai akhirnya, Bima donorin jantungnya. Dan ini merupakan hal serupa dengan yang Bunda rasakan. Kehilangan saudara kembaranya demi membuat Bunda untuk bisa bertahan," jelas Bama menahan sesak yang semakin mendesaknya untuk meluruhkan air matanya. Namun sekuat tenaga ia tidak akan menangis begitu saja, pagi ini harus damai.

Lalu ia menoleh menatap Wira yang tengah termangu pilu, merasa kalau semuanya begitu terlambat untuk ia sadari. Bama menggenggam erat tangan ayahnya. "Ayah nggak perlu khawatir, Bima masih ada di sini," ujarnya menunjuk ke dada.

Wira menjatuhkan air matanya. Mahardhika, Sari dan Bima seakan menyatu dalam raga Bama, Sarah dan dirinya. Tangan Bama menyentuh pundaknya. "Kita nggak boleh sedih, Yah. Karena semua yang terjadi bukan kebetulan. Ini semua rencana Tuhan," ujar Bama.

Wira mengangguk lantas menghapus air matanya. Ah, rasanya sudah terlalu tua kalau harus menangis. Meski tidak ada salahnya jika seseorang menangis. "Makasih," lirihnya.

Bama mengangguk. Kedua tangannya terulur untuk merangkul sang ayah. Ada satu hal yang berbeda dan tengah berdetak di dalam sana. Iya, Bima masih hidup di dalam dadanya.

Cukup lama ia berpelukan sampai tidak sadar Sarah pun datang dan ikut merangkulnya dari belakang. Mengecup pipi Wira dan putra sulungnya dengan bergantian. Hangat, ini yang sejak dulu ia inginkan.

"Boleh dong mainin satu lagu buat Bunda," ujar Sarah menatap Wira dan Bama dengan bergantian.

"Dengan senang hati," jawab Bama antusias bersamaan dengan jarinya yang menekan tuts piano. Senyumnya merekah. Ia siap untuk memainkan satu lagu yang secara tidak langsung akan ia persembahkan kepada Bima.

Lelaki yang tengah berdiri di tengah ruang itu tersenyum. Ini yang sebenarnya ia harapkan. Bukan kesedihan, bukan pula rasa pilu tatkala dirinya memilih pergi. Ia ingin semuanya bahagia. Seperti saat ini yang ia rasakan, tepat saat papa dan mama merangkulnya penuh kehangatan.

Lagu itu kembali mengalun indah. Mengisi atmosfernya dengan rasa penuh kebahagiaan. Dan sekarang, langit sudah mengambil keputusan untuk menjemputnya pulang dari perjalanannya yang panjang untuk menyelesaikan semuanya. Perlahan, tubuhnya terangkat dan hanya menyisakan satu lembar kertas yang jatuh ke lantai, menandakan bahwa kehadirannya telah usai.

Bersamaan dengan itu Bama menoleh dan kedua matanya menangkap selembar kertas yang baru saja jatuh dan menyentuh lantai. Ia bangkit untuk memungutnya. Ada deretan kalimat yang mengisi satu lembar kertas putih itu.

Thank you for loving me. I love you too.

Dengan cepat Bama berlari keluar dan menengadahkan kepalanya ke atas. Bima tengah tersenyum kepadanya sambil melambaikan tangannya.

"See you," gumam Bama saat melihat hal itu terjadi begitu nyata.

TBC...

DANKE SCHÖNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang