DS 29 - Peace

4.4K 253 14
                                    

Luna terbangun dari tidurnya karena suara jam beker yang begitu memekakkan telinga. Ia beringsut bangkit dan duduk di tepi ranjang. Sunyi. Sepi. Ia menoleh ke arah pas foto yang bertengger di atas nakas. Foto itu memperlihatkan bagaimana Bima tersenyum lepas dan tulus. Ah, sudah lah. Dirinya harus cepat bergegas agar tidak terlambat masuk sekolah.

Di tempat lain pun, Cindy sedang terburu-buru menyantap makanannya.

Uhuk!

Sampai tersedak karena tidak mengunyahnya pelan-pelan. Buru-buru ia meneguk air putih untuk melegakan tenggorokannya.

"Pelan-pelan," peringat Oma melihat tingkah cucunya yang satu ini.

"Iya Oma. Aku nggak mau telat," balas Cindy kemudian memilih untuk menyudahi makannya.

Oma geleng-geleng kepala. "Bama juga belum berangkat."

"Ya udah. Aku berangkat sekarang." Diraihnya tangan Oma untuk mencium punggung tangannya. "Dah, Oma!" sapanya sambil berlalu.

Kembali pada kehidupan Luna yang kini tengah menggosok giginya dengan terburu-buru.

"Udah bersih, kan?" tanyanya pada dirinya sendiri sambil bercermin untuk memeriksa kebersihan giginya.

"Oke kinclong!" ujarnya lagi sambil berlalu keluar menuju kamar dan segera membereskan semua alat-alat sekolahnya.

Rambut yang masih basah dan sehelai handuk yang masih melilit di tubuhnya kemudian dengan secepat kilat sudah terganti oleh seragam sekolah meski tangannya kembali disibukkan dengan hairdryer untuk mengeringkan rambutnya.

Luna menatap dirinya di cermin. Ada satu hal yang harus ia singkirkan saat ini juga. Sepasang anting metal di telinganya juga gelang kulit yang melingkar memenuhi pergelangan tangannya. Lantas ia melepaskan semuanya dan menggantinya dengan anting-anting dan gelang yang lebih terlihat anggun.

"Oke, sempurna," gumam Luna melihat penampilannya sendiri di depan cermin. Hari ini, ia harus belajar berdamai dengan siapa pun itu. Belajar menerima tentang apa pun itu. Entah kehilangan, duka dan rasa sedih lainnya.

Lagipula hidup hanya sekali dan setelah itu mati. Ia tidak boleh melewatkan segala hal yang sebenarnya lebih damai untuk dilakukan.

Kakinya melangkah, Luna keluar dari kamarnya dan muncul di ruang tengah. Terlihat sesosok pria paruh baya yang sedang menikmati sarapannya sendiri. Ia berjalan dengan begitu kaku, lidahnya kelu meski hanya untuk bersapa.

"Good morning, Dad," sapanya memberanikan diri. Pria paruh baya itu mengangkat wajahnya. Menatap Luna seakan baru tahu jika ada sosok peri kecil di dalam rumahnya.

"Yeah, morning," balasnya tidak kalah kelu.

"Can we make peace? I really miss you," ujar Luna dengan jujur.

"I miss you too," ungkap pria itu dengan perasaan yang sama. Rindu yang terlanjur menyelusup ke dalam relungnya yang pilu setelah bertahun-tahun lebih memilih untuk tidak memedulikan siapa pun.

Tanpa ragu Luna meraih pelukan ayahnya. Ia rindu. Sudah cukup saling berperang melawan egonya masing-masing hingga berakhir saling lelah. Ia menumpahkan air matanya ke dalam pelukan sang ayah.

"I'm sorry," ujar pria itu.

"Maafin aku juga, Pa." Luna menenggelamkan wajahnya. Betapa rindunya ia pada pelukan papa yang begitu hangat.

"Iya. Maafin Papa juga, sayang," ucapnya melirih.

Rasa damai menyelimuti sanubarinya. Ia seperti mendapatkan kembali sosok yang pernah hilang. Ayahnya sudah kembali.

DANKE SCHÖNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang