DS 09 - Sanggahan

4K 472 25
                                    

Senja. Bima menenteng tasnya berjalan menyusuri tepian trotoar. Menunduk. Kakinya terus bergerak melangkah sekaligus menendang kerikil-kerikil kecil. Dari arah gerbang rumahnya Cindy muncul dengan tas hitam di genggamannya kemudian mengarahkan pandangannya pada Bima dan menatapnya dingin.

"Kenapa lo, Cin?" tanya Bima. Senyum menawannya mengembang tipis.

Cindy tersenyum miring lalu menyapukan pandangannya ke seluruh tubuh Bima. Dari bawah hingga atas, sampai tatapannya kembali bertemu. "Abis kemana lo?" tanyanya bersamaan dengan tawa masam.

Bima mengangkat kedua alisnya. "Tumben perhatian. Kenapa?" Ia meresponnya dengan agak malas.

"Bim. Bama lagi sakit. Kenapa lo gak jagain dia dan malah keluyuran gak jelas kayak gini?" tajam Cindy.

"Oh. Lo nyalahin gue?" Bima mengangkat tatapannya dan langsung menusuk retina cewek di hadapannya.

"Gue gak habis pikir sama lo ya, Bim. Gue tau hubungan lo sama bokap lo kayak gimana, tapi gak harus kayak gini caranya."

"Cara?" ulang Bima mengernyit tajam. "Cara apa?" lanjutnya.

"Gue tau lo selalu menghindar dari bo---" Bima memotong ucapan Cindy. "Gue tau lo sayang sama sodara kembar gue. Tapi ada satu hal yang gak pernah lo tau tentang Bama. Bahkan nyokap-bokap gue pun gak tau," ucapnya cepat.

Cindy seketika terpaku. Rasa takut menggerayangi dirinya. Kali ini, ia seperti melihat sosok lain dari dalam diri Bima. Sosok Abhimata Sadewa yang tengah di selimuti kabut gamang tebal hingga seolah bisa menggambarkan bagaimana hancurnya seorang Bima yang ceria jika harus merelakan Bama. "Maksud lo?" Tergagap Cindy akhirnya bertanya. Ia masih sulit untuk menangkap ujaran Bima.

Laki-laki itu menarik napasnya kemudian menghela sejenak. Ia mendekat. Menatap Cindy dengan radius puluhan sentimeter. Menusuk netranya dengan matanya. "Denger baik-baik tentang apa yang harus lo ketahui soal Bama." Diam sejenak. "Bama gak pernah sakit." Sesak. Jelas ia pun berbohong mengenai perkataannya. Bama memang sakit, tapi sampai kapan pun ia tidak akan pernah menganggapnya jika saudara kembarnya itu sakit.

Bima segera berlalu sambil menahan perih di sanubarinya yang mulai dirasa seakan berdarah-darah. Sedangkan Cindy terdiam di tempatnya. Matanya menatap bekas pijakan Bima di hadapannya. Hatinya takut, jika suatu saat nanti Bima nekad menggantikan posisinya.

Jatuh. Luruh. Air matanya berhasil menembus pelupuknya yang selalu rapuh. Cindy melanjutkan langkahnya dengan kepalanya yang menunduk, menyembunyikan tangisnya di balik uraian rambut panjangnya. Ia tidak pernah menyangka bahwa Bima akan berkata seperti itu. Penuh kebohongan dan amat menyakitkan jika harus menoleh pada kenyataan pahit yang benar-benar nyata untuk diuraikan.

***

Bima menaruh tasnya. Tubuhnya ambruk dan bersandar pada tepi ranjang. Berkali-kali ia menghela napasnya yang sesak. Bukannya ia menyangkal takdir, ia hanya tidak percaya pada semua yang dialaminya selama ini. Soal Bama yang ia sayangi, Cindy yang diam-diam ia cintai, juga separuh napasnya untuk Sarah sekaligus Wira. Ia ingin semuanya normal, ia ingin Sarah bisa membagi rasa kasihnya, Wira dapat menyalurkan perlindungannya dan Cindy mengerti soal hatinya.

Hari kian redup. Bima menghela napasnya lagi. Kemudian bangkit menutup tirai jendela yang terbuka lebar. Mematikan lampu kamarnya lantas berbaring di tempat tidur dengan sedikit penerangan dari cahaya lampu yang menembus ventilasi kamarnya. Dua sudut bibirnya terangkat samar.

"Gue tau. Jantung lo emang lemah. Tapi gak dengan hati dan pikiran lo yang selalu tangguh. Lebih tangguh dari gue yang ternyata lebih rapuh." Bima terkekeh pedih. "Gue janji. Akan selalu ada buat lo. Tapi dengan satu syarat, yaitu setelah perjalanan ini."

DANKE SCHÖNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang