Dengan wajah penuh kekhawatiran Ray masuk ke dalam kamar rawat. Di sana ada Bima yang tengah duduk di atas brankar dengan lengan dan kaki yang dibalut perban. Di sampingnya ada Luna yang berhasil membuatnya mengernyit dalam. Namun ia kembali memusatkan perhatiannya pada Bima. Pertanyaan beruntun siap ia luncurkan dari sepasang bibirnya, "Lo gapapa, kan? Kok bisa sampe gini sih?"
Bima mendesah mendengar pernyataan Ray. "Nggak apa-apa, cuma lecet doang," jawabnya santai. Begitu berbanding terbalik dengan Ray yang sedang merasa tegang.
"Lo tolol apa gimana sih?" Ray menoyornya gemas pasca mendengar jawaban Bima. "Kayak gini dibilang cuma?!"
Bima mendesis sebal. "Bawel!" rutuknya membalas toyoran Ray.
Ray geleng-geleng kepala sambil menatap Bima.
"Sudah selesai?" Suara itu berhasil membuat ketiga anak muda itu menoleh ke arah pintu. Seorang polisi dengan atribut lengkap berdiri tegak di sana.
Bima mengangguk. Lalu ia turun dari brankar. Namun gerakannya cepat dicegat oleh Ray. Pandangan Ray yang semula tegang kini berubah sayu.
"Nggak apa-apa, Ray," ujar Bima menenangkan dan menepuk-nepuk pundak Ray. "Lo anter Luna pulang ya?" tambahnya kemudian menatap Luna. "Lun. Thanks ya?" Gadis itu mengangguk.
"Gue bakal cari bantuan supaya lo bisa keluar dari sini," ucap Ray sungguh-sungguh. Ia tidak yakin kalau Bima mampu bertahan menjadi tahanan di balik jeruji besi.
Bima hanya mengangguk. Usianya sudah menginjak tujuh belas tahun, jadi ia harus siap menerima hukuman yang akan dijatuhkan untuknya. Ia harus siap dengan segala resikonya, ia harus siap dengan Wira yang akan semakin menganggapnya tidak berguna. Ray kemudian memeluknya erat, satu yang kini menjadi keinginannya yaitu, Bima baik-baik saja.
Sambil berjalan tertatih, Bima menghampiri seorang polisi yang sudah menunggunya di ambang pintu. Polisi itu menyambutnya dengan memegang pundak Bima dan membawanya masuk ke dalam kurungan besi.
Ray hanya dapat menatapnya dengan pandangan kosong. Ia sendiri tidak tahu harus bagaimana. Bima sudah menghilang bersama polisi itu. Sekarang hanya ada ia dan Luna di ruang rawat ini.
Terdengar helaan napas berat Ray. Sebelum cowok itu mengajaknya untuk keluar.
***
Bunyi kunci diputar mengisi ke seluruh ruang senyap ini. Sekarang dirinya sudah berada di balik kurungan selama menjadi masa tahanan. Lantas Bima duduk bersandar pada tembok. Memejamkan matanya dan menghela napasnya dengan berat.
Sosok mulia itu datang, tersenyum hangat padanya. Tangannya terulur, menggenggam tangan mungil yang ia anggap sebagai malaikat kecilnya.
"Mom."
Hilang.
Terjaga. Bima mengangkat wajahnya. Tatapannya lurus dan nampak kosong. Jantungnya berdebar keras. Lemas. Ia merunduk dengan tangan meremas dadanya. Rasa sesak kembali menyeruak hebat. Seperti menghentak-hentakkan nadinya dengan kuat. Membuatnya sulit bernapas. Bima tersengal dengan amat luar biasa. Ia sendiri tidak mengerti kenapa sampai seperti ini. Dirinya terbatuk saat mencoba untuk tetap bernapas, hingga membuat dadanya nyeri dan percikan darah keluar dari mulutnya.
Samar-samar terdengar langkah kaki yang mendekat dengan cepat sebelum semuanya terasa tuli. Dengan lemah Bima menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Kedua matanya yang masih bertahan untuk tetap terbuka seperti menyiratkan kepedihan yang selama ini ia tahan dan sembunyikan di balik senyuman.
Jika daun itu gugur, biar lah. Biar lah ia tertiup angin sejauh mana ia akan terbang. Lalu hinggap pada sebuah tempat yang menurutnya nyaman. Mungkinkah nirwana di atas sana?
KAMU SEDANG MEMBACA
DANKE SCHÖN
Teen Fiction(HARAP FOLLOW PENULISNYA TERLEBIH DAHULU) [TWINS STORY & SAD STORY] ~English Version ready on iStory~ PERHATIAN! Cerita ini dapat menyebabkan mata bengkak, pipi merah serta hidung tersumbat. Oleh karena itu, siapkan sekotak tisu terlebih dahulu sebe...