DS 20 - Gamang

4.4K 395 69
                                    

Bama menatap sosok kembarannya yang kini tengah berdiri di tengah lapang sambil menunggu datangnya bola. Sejak malam itu ia sudah membuktikan bahwa Bima memanglah tidak pernah baik-baik saja. Ia menyesal sudah terlalu menunjukkan kelemahannya pada semua orang, hingga membuat adik yang paling disayanginya harus kehilangan perhatian dari orang-orang di sekelilingnya. Apalagi saat kecelakaan beberapa waktu lalu ternyata masih menyisakan trauma hebat bagi Bima, meski fisiknya kini terlihat biasa saja, namun organ dalamnya berkata lain. Benturan di kepalanya membuat pendarahan di antara tulang tengkorak menuju otak.

Setelah dua bulan lamanya berusaha mencoba untuk melupakan peristiwa itu, kini dokter menjelaskan bahwa pendarahan yang tidak segera ditangani akan menyebabkan lapisan darah yang berkerak kemudian menumbuhkan tumor pada organ. Hal itu yang membuat Bama lebih merasa takut ketimbang untuk kematiannya sendiri. Jika Bima pergi, lantas bagaimana dengan dirinya? Yang harus merindu tanpa ada temu serta harus siap merasakan kehilangan. Sungguh, ia lebih takut jika hal itu terjadi.

Bima berlari mendekat. "Hai Cindy Cintaku," sapanya pada Cindy yang berdiri di samping Bama.

Cindy hanya tersenyum sekilas sebelum akhirnya sebal karena senyuman Bima.

"Lo punya waktu tiga hari buat ngambil keputusan," lanjut Bima berlalu dan diikuti Ray di belakangnya.

Bama menunduk. Menatap Cindy yang tengah mendengus kesal. "Gue tau lo sayang sama Bima," ujar Bama tahu dengan perasaan Cindy. Lagipula Cindy tidak dapat membohonginya begitu saja, Bama sudah paham bagaimana Cindy yang sudah mau menjadi sahabatnya selama sepuluh tahun ini.

Cindy mendesah berat. Ia seperti ada di antara dua keputusan yang sulit. Ia terlanjur nyaman dengan Bama, namun hatinya malah terlanjur sayang pada Bima dan ia tidak mungkin pula untuk memacari dua orang sekaligus. "I love you, Bam," ucapnya lirih kemudian beranjak.

Bama terdiam. Ia membiarkan Cindy meninggalkannya sendiri di tepi lapang. Apa hal tadi yang Cindy ucapkan hanyalah sebuah lelucon? Namun raut Cindy terlihat serius saat mengatakannya. Apa karena ini Cindy tidak segera menerima Bima? Ah, kini dirinya yang dilanda kebingungan. Apa mulai sekarang ia harus menghindari Cindy? Menjauh dari gadis itu dengan sejauh-jauhnya? Ia mengembuskan napasnya dengan berat. Ini bukan perihal mudah, ia tidak ingin Bima merasakan luka lagi hanya karena patah hati.

***

Di antara lemari loker yang berjejer di sepanjang koridor. Bima berdiri dengan membiarkan lemarinya terbuka. Ia merasakan kehampaan yang menyelimuti sanubarinya. Terlalu cepat kah ia menyatakan rasanya pada gadis yang selama ini ia cintai? Atau salah kah ia menyatakan rasa itu, apalagi di malam itu kesadarannya tidak sepenuhnya berpihak pada dirinya? Pikirannya seakan terbang di antara awan hitam pekat yang siap membawanya menuju alam tertentu dan mempertemukan dirinya dengan bayang-bayang yang selalu ia panggil Mama. "Mom, who exactly are you?" tanyanya pada atmosfer di sekitarnya lantas mendesah panjang. Senja kini sudah berada di peraduannya, siap tenggelam di antara awan hitam nan pekat. "God, please help me," ujarnya lagi dengan putus asa.

Sunyi. Yang dilihatnya tidak lebih hanya bayangannya sendiri. Masalahnya terlalu berat untuk dihadapi sendiri. Ia merunduk dan menatap lantai. Sejenak ia memejamkan matanya sebelum kembali menatap sekelilingnya. Tidak ada siapapun.

Ada secercah cahaya muncul di balik tikungan koridor dan terlihat sedang mendekat. Bima menegakkan kepalanya lalu menajamkan pandangannya. Wanita itu ada di hadapannya dengan membawa angin sejuk yang menerpa dirinya lantas tersenyum.

"Who exactly are you?" tanya Bima menatap sosok wanita yang kini berdiri di hadapannya.

"I'm your mother," jawab wanita tersebut yang selalu menampakkan senyumnya yang pedih.

"Are you lying?"

Wanita itu menggeleng. "I miss you," ujarnya. "You are my son," lanjutnya terdengar jelas ada kepedihan di setiap kata-katanya yang terucap.

Bima merunduk. Menatap wanita itu dari ujung kaki hingga ujung rambutnya. Sejujurnya, ia masih belum mengerti dengan apa yang terjadi. Wanita di hadapannya ini terlalu nyata untuk dikatakan halusinasi. Tangannya terangkat, lalu menyentuh sosok itu, meraba wajahnya dan kedua tangannya yang hangat untuk ia pegang. Ini nyata.

Aliran masa seperti menayangkan setiap peristiwa yang terjadi di ingatannya. Bayangan mengenai tubuh mungilnya yang terhantam kuat oleh mobil seakan terekam jelas, bayangan saat ia mengejar kupu-kupu di taman kota dan bayangan seorang ibu yang ternyata kini ada di hadapannya. "Are you my mom?" tanyanya lalu diangguki oleh wanita di hadapannya.

Wanita itu lantas memeluknya. "Sorry, left you alone," ujarnya tersedu.

Bima merasakan dadanya menyesak. "I'll coming you," ucap Bima membalas pelukan itu. Halusinasi macam apa ini? Kenapa begitu nyata?

***

Langkah Bima baru saja menginjak teras rumah, namun Sarah sudah menyambutnya dengan sebuah pertanyaan. "Kenapa baru pulang, Bim?" tanyanya halus. Di mata Bima, kini Sarah sudah terlihat lebih baik dari sebelumnya yang hanya akan diam ketika dirinya melakukan kesalahan.

Bima menggaruk tengkuknya. Ia melirik Bama yang sedang berdiri di belakang Sarah. Pasti kakaknya itu sudah pulang sejak jam tiga sore. Iya lah, Bama. Cowok yang selalu tepat waktu dalam melakukan segala hal. "E ... anu, Bun. Maaf, tadi ada temen minta lontong." Bima terkesiap sendiri saat ucapannya salah. "Eh maksudnya tolong," ralatnya cepat.

Sarah geleng-geleng kepala. "Kalo mau telat pulang, kasih tau Bunda. Biar Bunda nggak khawatir," peringat Sarah.

"Iya Bun. Maaf," ucap Bima merasa bersalah. Kepalanya merunduk.

"Ya sudah. Masuk, mandi dan jangan lupa makan. Bunda tunggu," titah Sarah.

Bima mengangguk lalu masuk ke dalam. Tatapannya bertemu dengan kedua bola mata Bama yang berdiri di sampingnya. Bama lalu mengikutinya di belakang.

"Kayak buntut lo," maki Bima setelah sampai di kamarnya dan Bama masih mengikuti sampai dirinya duduk di tepi ranjang dan melepas semua atribut sekolahnya.

Bama tidak menyahutnya. Ia duduk di samping Bima. Ia tersenyum, kemudian meraih kepala Bima dan mengecupnya dengan hangat sekaligus penuh dengan kerinduan. Bama tidak melepaskan Bima begitu saja, ia memeluk sang adik dengan penuh harapan bahwa semuanya akan baik-baik. Tidak ada yang pergi. Tidak ada yang meninggalkan. Serta semuanya berkumpul di sini. Saling mengisi dengan berbagi cerita.

"Gue lebih takut kehilangan lo ketimbang kematian," ujar Bama masih memeluk Bima yang terdiam di dalam pelukannya. Ia merasakan Bima menarik napasnya.

"Nggak ada yang perlu ditakutkan. Semua akan kembali pada Tuhan," balas Bima memeluk Bama. Tidak boleh ada yang pergi.

***

Tangannya menggapai gagang pintu yang pelan-pelan ia buka. Pemandangan hangat ada di depan matanya. Sebelumnya ia tidak pernah melihat Bima dan Bama saling berpelukan. Ia bersyukur dapat menangkap momen ini dengan retinanya secara langsung. Semoga Tuhan masih mengijinkan mereka untuk bersama dan mengganti waktu yang telah terlewati tanpa kebersamaan yang sehangat ini.

Cindy kembali menutup pintu itu.

TBC...

DANKE SCHÖNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang